Kedaulatan Allah di Muka Bumi

10 Okt 2013

Oleh Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ’Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab, ’Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak.’ Nabi (mereka) berkata, ’Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (QS Al-Baqarah: 247).
Kita telah memahami bahwa Bani Israil melakukan kesalahan fatal dalam memahami masalah kepemimpinan. Lebih jauh, mereka tidak mempunyai standar yang benar tentang kriteria bagi seseorang yang berhak untuk menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat. Dalam hubungannya dengan penolakan mereka atas penunjukan Thalut sebagai raja yang harus mereka taati oleh Nabi yang diutus kepada mereka karena memenuhi permintaan mereka sendiri, ada beberapa kesalahan fatal yang bisa kita temukan dari sikap mereka, yaitu pertama, mereka menganggap bahwa kelayakan seseorang untuk menjadi pemimpin diantaranya ditentukan oleh faktor keturunan. Berdasarkan alasan ini mereka menolak penunjukan Thalut menjadi raja mereka, karena Thalut bukanlah seorang keturunan raja. Bahkan Thalut adalah keturunan rakyat biasa. Oleh karenanya, Bani Israil tidak mau menerima Thalut untuk menjadi raja mereka.
Alasan penolakan yang kedua adalah karena menurut mereka, seorang pemimpin haruslah seorang yang kaya. Sedangkan menurut mereka, Thalut tidak termasuk orang yang kaya di antara mereka, sehingga mereka sangat menentang ketika Nabi yang diutus kepada mereka menunjuk Thalut untuk menjadi raja mereka. Sekalipun kisah ini adalah kisah Bani Israil namun ada diantara masyarakat kita yang tertular penyakit semacam ini ketika memilih pemimpin. Ada diantara masyarakat kita yang berpendapat bahwa seseorang yang akan menjadi pemimpin harus sudah kaya terlebih dahulu. Pernyataan ini sungguh aneh, karena seorang pemimpin dalam Islam tidak disyaratkan bahwa ia harus kaya. Fakta sejarah menunjukkan bahwa setelah Rasulullah Saw. meninggal, yang menggantikan beliau bukanlah orang yang paling kaya pada waktu itu, bahkan sebagian besar di antaranya termasuk orang yang miskin. Abu Bakar Ra., Umar bin Khathab Ra., dan Ali bin Abi Thalib Ra. bukan orang yang paling kaya di masyarakat pada waktu itu. Namun ketika beliau-beliau ini menjadi seorang pemimpin, berhasil membawa masyarakatnya untuk senantiasa menjaga ketaqwaannya kepada Allah Swt.
Pelajaran penting lainnya yang bisa kita dapatkan dari ayat ini adalah tentang sistem pemerintahan menurut pandangan Al-Qur’an al-Karim. Agar suatu pemerintahan bisa berdiri dengan kokoh dan berjalan sesuai dengan tuntunan Allah Swt., hal terpenting yang harus diperhatikan bukanlah banyaknya kekayaan yang dimiliki oleh negara tersebut, akan tetapi yang paling penting kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada dalam bangsa tersebut. Oleh karena itulah pada ayat ini Allah Swt. mengatakan, Nabi mereka berkata, ’Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’
Dari penggalan ini kita mendapatkan pelajaran bahwa untuk menjadi pemimpin, maka yang terpenting adalah quwwatul ‘ilm (kemampuan intelektualnya) sehingga ia mampu mengatur pemerintahannya dengan baik, dan juga quwwatul jism (kekuatan fisik). Kedua-duanya harus ada pada seorang pemimpin. Kalau ada seorang pemimpin yang fisiknya perkasa akan tetapi tidak mempunyai ilmu yang cukup, maka tidak akan bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik. Bahkan sangat mungkin ia akan menjadi seorang pemimpin yang hanya mengandalkan kekuatannya belaka sehingga tidak menghormati HAM yang dimiliki rakyatnya. Sebaliknya, jika seorang pemimpin hanya memiliki ilmu saja akan tetap fisiknya lemah, ia tidak akan ditakuti oleh musuh-musuhnya. Jadi kedua-duanya harus ada pada seorang pemimpin.
Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa ilmu yang dianugerahkan Allah Swt. kepada Thalut seperti yang dimaksud pada ayat ini adalah ‘ilmu fii tatbiirul hukumah (ilmu untuk mengatur negara), ‘ilmu fii tatbiirus siyasah (ilmu untuk mengatur kehidupan berpolitik), dan ‘ilmu fii tatbiirul harb (ilmu untuk mengatur strategi dalam peperangan). Sebagian Ahli Tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ‘ilmu nubuwah. Namun kalau kita perhatikan, penafsiran yang terakhir ini kurang tepat, karena Thalut tidak dipersiapkan oleh Allah Swt. untuk menjadi seorang Nabi.
Jadi, syarat yang penting bagi seseorang untuk menjadi raja atau menjadi seorang khalifah adalah kualitas SDM-nya yang dalam hal ini adalah kemampuan intelektualnya dan kekuatan fisiknya, dan sama sekali bukan diukur dari banyaknya kekayaan yang dimilikinya. Kenapa? Karena dengan quwwatul ‘ilm wa quwwatul jism (kekuatan ilmu dan fisiknya), ia akan mampu menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik. Dengan kemampuan intelektualnya, ia akan berusaha agar ekonomi di masyarakatnya bisa berkembang dengan baik, mampu untuk membuka lapangan kerja, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh masyarakatnya. Sebaliknya, walaupun hartanya banyak akan tetapi kalau tidak mempunyai quwwatul ‘ilm, maka dia akan kaya sendirian dan membiarkan rakyatnya tetap menderita. Kita tentu tidak menginginkan seorang pemimpin yang seperti itu.
Berkenaan dengan pentingnya kualitas SDM dalam suatu masyarakat, Aristoteles pernah mengatakan, “Harta benda akan tumbuh jika rakyat berkualitas.” Contoh nyata yang bisa kita ambil adalah kehidupan yang berlangsung di jaman Rasulullah Saw. dan para Shahabat. Ketika Rasulullah Saw. hijrah bersama para shahabatnya dari Mekah ke Madinah, sebagian besar shahabat yang ikut hijrah adalah orang miskin, karena banyak di antaranya yang harus meninggalkan harta bendanya di Mekah agar bisa mengikuti Rasulullah Saw. berhijrah.
Akan tetapi karena para shahabat Rasulullah ini mempunyai kualitas SDM yang tinggi, kemiskinan itu tidak menjadi permasalahan yang serius bagi mereka. Bahkan dengan kualitas SDM yang sangat baik itu, kemudian terjadilah banyak perubahan yang signifikan. Salah seorang shahabat yang bernama Abdurrahman bin Auf yang ketika tiba di Madimah kemampuan ekonominya bisa dikatakan nol, tidak lama kemudian menjadi orang yang kaya, bahkan termasuk orang yang terkaya di Madinah. Padahal sebelum kedatangan kaum Muhajirin ke Madinah, perekonomian di sana dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Namun dengan kualitas SDM yang mumpuni dan disertai dengan usaha keras yang dilandasi niat yang ikhlas, peta kekuatan ekonomi itu kemudian mengalami pergeseran-pergeseran penting. Karena demikian penting faktor manusia dalam menentukan kemuajuan suatu masyarakat, maka pembangunan kualitas SDM jauh lebih penting daripada sekedar pembangunan fisik.
Dengan kata lain binaa-ur rijal muqoddamun ‘ala binaa-ul ahjar (pembinaan manusia harus lebih diutamakan daripada pembinaan batu (maksudnya pembangunan fisik). Kalau manusia-manusia yang ada dalam suatu masyarakat adalah orang-orang yang berkualitas handal, maka setiap anggota masyarakat akan ikut mengambil bagian secara aktif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan di masyarakat itu. Sebaliknya, jika yang dibangun hanyalah masalah fisik dan kurang memperhatikan pembangunan manusianya, maka semuanya akan berlangsung sia-sia, karena manusia-manusia yang ada dalam masyarakat tersebut tidak akan bisa memanfaatkan kemajuan di sektor fisik. Dan sangat mungkin mereka akan merusak kembali kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam sektor fisik.
Pada penggalan selanjutnya Allah mengatakan, Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.’’ Jadi logika Bani Israil yang salah dalam masalah kepemimpinan itu dijawab oleh Allah dengan logika Qur’ani yaitu,
Pertama, bahwa Thalut adalah pilihan Allah Swt. dan pilihan Allah berarti adalah pilihan yang terbaik.
Kedua, Allah Swt. ketika memilih hambanya bukan tanpa alasan, akan tetapi semua itu disertai alasan yang jelas, yaitu karena Thalut dianugerahi Allah Swt. berupa quwwatul ‘ilm wa quwwatul jism.
Ketiga, Allah memberikan kekuasaan hanya kepada orang yang dikehedaki-Nya. Dalam sistem pemerintahan robbani ditegaskan bahwa kedaulatan dan kekuasaan itu semata-mata adalah milik Allah Swt. Seorang raja, pemimpin atau khalifah hanya bertindak sebagai pelaksana perintah-perintah Allah Swt. Jadi, kedaulatan sebuah negara dalam pandangan Islam ada di tangan Allah Swt. semata. Seorang presiden dan menteri-menterinya hanya sekedar melaksanakan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah Swt. Ini harus kita pahami benar. Jadi tidak benar pandangan yang menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, sementara rakyat (manusia) itu tidak ma’shum, sehingga sangat mungkin suatu saat mereka terkena pengaruh hawa nafsunya. 
Inlah perbedaan sistem dalam negara Islam dengan sistem yang lainnya. Manusia semuanya adalah hamba Allah. Ar-rois (pemimpin) adalah hamba Allah, dan ar-ro’iyyah (rakyat) juga hamba Allah Swt. Ketika seseorang diangkat menjadi kepala negara, itu bukanlah hal yang istimewa. Penunjukan seseorang untuk menjadi pemimpin hanya sekedar pembagian tugas, agar Islam yang syamil ini diamalkan dengan sebaik-baiknya karena setiap orang mempunyai tugas masing-masing. Dengan adanya pembagian tugas ini, baik sebagai pemimpin atau sebagai rakyat, sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk membuat undang-undang, kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad pada hal yang memang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad. Dan ijtihad ini hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten, dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Namun demikian, ijtihad ini tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah Syari’ah Islam secara umum. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto