Kesederhanaan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz

5 Des 2012


Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz shalat Jum’at di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertambal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengaruniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa tak mau kau pergunakan walau sekedar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi sebagai penguasa.”
Sewaktu di SMA dulu, ada seorang teman sekelas beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan satu atau dua tambalan di bagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung, sebentar lagi juga lulus!”
Meski mengenakan pakaian bertambal, dia tidak merasa malu, risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang rendah atau menganggapnya miskin, karena memang dia bukan orang miskin. Ketika sebagian besar siswa lainnya berangkat sekolah dengan berjalan kaki, bersepeda, atau naik kendaraan umum, teman yang satu ini mengendarai sepeda motor. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan sepeda motor. Belum ada yang membawa mobil seperti anak SMA sekarang.
Ceritanya, mungkin akan lain bila yang mengenakan seragam bertambal itu adalah orang yang berasal dari keluarga sangat sederhana apalagi dari kalangan tidak mampju. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkannya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman yang lain memakluminya jika waktu itu dia menegenakan seragam bertambal.
Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahwa gaya hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencibirnya. Bahkan sebaliknya, bisa jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Ketika mendengar kabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak heran bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul heran ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”
Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang senantiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan perlente, meskipun pejabat-pejabat lain yang merupakan bawahannya banyak yang berpenampilan mewah. Tak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz kekhawatiran kalau-kalau rakyat, para pejabat, atau kepala negara lain meremehkannya atau menganggapnya kere lantaran berpenampilan sederhana.
Kedudukan dan kekayaan pasti akan menjadi ganjalan dan memperlambat hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan Allah Swt. Pengadilan Allah Swt. sangat berbeda dengan pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di pengadilan akhirat, tak seorang pun yang bisa lolos dari hukum Allah Swt.
Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detil dan tidak rinci, sehingga seseorang dapat berkilah, berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan, seperti keping CD yang sedang menampilkan semua rekaman sepak terjang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, hitungan angka-angka masih mengenal pembulatan, maka di pengadilan akhirat istilah pembulatan angka itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detil dan terperinci.
”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).
Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang ustadz mengungkapkan kekhawatirannya melihat penampilan sebagian aktivis dakwah yang pola hidupnya mulai mengarah kepada gaya hidup materialistik. Ustadz tersebut mengungkapkan adanya beberapa gejala tanaafus bii al-maal (berlomba-lomba dalam harta).
Sang ustadz lalu menceritakan kisah seorang sahabat Nabi Saw. yang bernama Tsa’labah. Ketika dalam kondisi miskin, ia termasuk orang yang rajin shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw., akan tetapi ketika Allah Swt. menganugerahinya harta, maka mulailah hartanya itu menggerogoti keimannya. Ia mulai terlambat shalat, lantaran hewan-hewan ternaknya butuh waktu dan perhatiannya. Tsa’labah mulai sibuk menghitung-hitung harta dan tabungannya. Sibuk membuat perencanaan-perencanaan masa depan diri dan keluarganya. Pikirannnya mulai mengkhayalkan rumah dan kendaraan baru. Sibuk merencanakan bisnis dan proyek baru. Akhirnya, Tsa’labah tidak pernah lagi terlihat shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw.
Tsa’labah mulai terbiasa dengan pola hidupnya yang baru, seakan-akan tidak ada perubahan berarti dalam hidupnya. Ia mulai terbiasa shalat di tempat kerjanya, dekat dengan hewan-hewan ternaknya. Dia mulai memperhitungkan setiap detik waktu yang dilauinya dengan prinsip ”time is money”. Dalam kisah tersebut, akhirnya Tsa’labah benar-benar menginggalkan kewajibannya kepada Allah, hingga Allah Swt. menenggelamkan Tsa’labah bersama seluruh hartanya.
IbnuQayim Rahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang jebakan-jebakan kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia, selalu diawali oleh lintasan-lintasan (khawatir) atau gagasan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian mucul iradah (kemauan) yang selanjutnya mendorong kehadiran perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.
Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk. Karena jika dibiarkan, ia akan berubah mejadi fikrah (gagasan) buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karena jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karena kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”
Setiap tahapan dalam perbuatan, yaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak akan meningkat ke tahapan berikutnya sebelum mencapai kestabilan. Misalnya, khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai kestabilan dan kematangan. Ketika seseorang berada pada level kestabilan dan kematangan baru, umumnya mereka tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan pada dirinya. Artinya, perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang seringkali tidak atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain mungkin melihat perubahan itu secara mencolok.
Maka, supaya tidak terseret pusaran gaya hidup materialistik, penting bagi kita untuk menerapkan pola hidup sederhana, seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto