Wali Allah

12 Des 2012


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra., ia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Siapa yang memusuhi para wali/kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan. Dan tidak henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; menjadi matanya yang dengannya ia melihat; menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberinya. Jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku beri perlindungan” (Hadits Qudsi Riwayat Imam Bukhari dalam kitab Ar-Riqaaq).
Sebagian masyarakat kita masih ada yang keliru dalam memahami wali Allah. Dalam pemahaman mereka, wali adalah orang yang memiliki kelebihan tertentu yang tidak dipunyai oleh manusia pada umumnya. Oleh karenanya, seorang wali haruslah memiliki kemampuan melihat masa depan. Seorang wali dapat merasakan atau bahkan dapat melihat sesuatu yang terjadi di tempat lain yang jauh dari tempatnya berpijak. Seorang wali dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sekejap. Pendeknya, seorang wali haruslah orang yang memiliki kekuatan gaib. Pandangan ini persis seperti yang digambarkan dalam film-film yang mengisahkan tentang wali atau orang-orang saleh.
Pemahaman seperti ini, tentu saja lebih banyak kelirunya ketimbang benarnya. Bila parameter utama seorang wali adalah kekuatan gaib, maka mereka yang memiliki pandangan seperti itu akan mudah terkecoh oleh setan, karena setan dapat mengajarkan kemampuan gaib (sihir) kepada manusia yang menjadi mitranya.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia …” (QS Al-Baqarah: 102).
Dalam bahasa Arab, wali berasal dari kata wala` yang artinya loyalitas. Lawan wala` adalah bara` (berlepas diri). Jadi, wali Allah adalah orang yang memberikan loyalitas, pemihakan, pengabdian, dan dukungan kepada Allah. Dengan demikian, wali Allah bertanggung jawab terhadap berjalannya hukum dan ketentuan Allah di muka bumi.
Dalam ungkapan bahasa Indonesia, wali murid berarti orang yang bertanggung jawab atas apa yang berkaitan dengan seseorang yang berstatus sebagai murid. Wali murid tidak mesti orangtua dari si murid. Sedangkan wali kelas adalah orang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan belajar mengajar di dalam kelas.
Dalam kitab “Fathul Baari”, Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Wali Allah adalah orang yang mengenal Allah, selalu menaati Allah, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”
Muhammad bin Said bin Salim al-Qahthany dalam kitab Al-Wala` wal-Bara` fil Islam min Mafaahim Aqidatis Salaaf menulis, “Golongan yang memenuhi dakwah para Rasul dan beriman kepda Kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, yang diutus sebagai rahmat bagi manusia, mereka itulah yang disebut wali-wali Allah. Sedangkan golongan yang berpaling dan takabur, maka mereka itulah wali-wali setan.”
Dasar dari perwalian adalah mahabbah (cinta) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Sedangkan dasar dari bara` adalah kebencian dan permusuhan. Allah Swt. berfirman,
 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar” (QS Yunus: 62-64).
Menurut ayat di atas, parameter utama seorang wali adalah iman dan taqwa, bukan penguasaan ilmu gaib atau sihir. Karena, tidak sedikit orang yang memiliki atau dianggap memiliki ilmu gaib, ternyata bukanlah orang yang dekat dengan Allah. Di antara mereka, bahkan ada yang menampilkan sikap dan perilaku aneh. Misalkan sering melontarkan kata-kata yang menyakiti dan memojokkan umat Islam dan mendiskreditkan Islam. Di antara mereka ada juga yang tidak pernah terlihat melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Atau ada yang sering mengunjungi bar atau night club. Meski demikian, dalam pandangan pendukung fanatiknya, sikap ganjil tersebut justru diartikan sebagai maqam” kewaliannya.
Para wali Allah adalah mereka yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Senantiasa melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Sikap taat, ikhlas, dan husnuzh-zhan billah (berbaik sangka kepada keputusan/takdir Allah) senantiasa menghiasi perjalanan hidupnya. Seluruh waktu hidunya digunakan untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Para wali Allah tersebut kerap terlihat di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan bantuan sosial. Dan pada saat yang sama mereka juga mengajarkan tentang hakikat kehidupan, aqidah yang lurus, cara ibadah yang benar, dan akhlak yang mulia. Para wali Allah tidak henti-hentinya berjihad fii sabiillah dengan harta dan jiwanya. Bagi mereka, semua yang dimiliki (harta dan jiwa) pada hakikatnya adalah milik Allah yang harus dikembalikan dengan jalan pengabdian hanya kepada-Nya. Maka wajar bila Allah Swt. memberikan wala`-Nya (keperpihakan) kepada mereka, sebagaimana firman Allah,
“Allah Pelindung (wali) orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya (walinya) ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah: 257).
Maka Allah Swt. menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki orang-orang yang memberikan loyalitas total kepada-Nya. Semua doa, keinginan, dan permintaannya dikabulkan Allah. Dalam riwayat lain, “Allah menjadi hatinya yang dengannya ia berpikir, menjadi lisannya yang dengannya ia berbicara.”
Menurut Ibnu Rajab, “Maksud hadits qudsi di atas adalah bahwa siapa saja yang bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah dengan semua amalan wajib dan amalan sunnah, maka ia sungguh telah mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian derajat keimanannya naik menjadi derajat ihsan, sehingga ia beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya. Hatinya dipenuhi dengan ma’rifatullah, kecintaan, pengagungan, dan rasa takut kepada Allah. Hatinya dipenuhi rasa rindu kepada-Nya. Sehingga apa yang ada di dalam hatinya seolah tampak jelas dalam pandangan mata.”
Ibnu Rajab melanjutkan, “Ketika hati telah dipenuhi oleh kebesaran Allah, maka segala sesuatu selain Allah akan tersingkir dari hatinya. Bahkan hawa nafsunya akan lenyap dan tak ada sedikit pun keinginan, kecuali apa-apa yang diinginkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak akan mengeluarkan ucapan selain dzikir kepada Allah. Tangan dan kakinya tidak akan bergerak, kecuali atas perintah Allah. Jika ia berbicara, maka pembicaraannya karena Allah. Jika ia mendengar, mendengarnya karena Allah. Jika ia melihat, maka penglihatannya karena Allah.”
Imam Syaukani menjelaskan bahwa makna dari hadits qudsi di atas adalah Allah akan memberikan cahaya-Nya kepada setiap anggota badan yang dinyatakan dalam hadits tersebut. Dengan cahaya itulah anggota badan tersebut akan berjalan menelusuri jalan hidayah dan menjauhi jalan kesesatan.
Betapa nikmatnya hidup ini bila setiap gerak dan langkah kita senantiasa berada dalam bimbingan Allah Swt. Dunia dengan segala pernak-perniknya tidak lagi menguras pikiran kita. Keberhasilan tidak membuat kita sombong dan takabur. Kegagalan dan musibah tidak membuat kita bersedih dan putus asa.
Seekor semut tak pernah bangga lantaran mampu mengangkat makanan yang beratnya puluhan kali berat badannya. Seekor cheetah tak pernah membusungkan dada karena menjadi binatang tercepat di daratan. Dan seekor bunglon tak pernah merasa lebih hebat dari Penciptanya karena mampu merubah warna sesuai warna benda yang diinjaknya.
Berdoalah kepada Allah dengan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw., “Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dalam penglihatanku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, …” Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto