Pernikahan Antar-agama

16 Apr 2013



“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS Al-Baqarah: 221).

Pada ayat ini Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. Pada penggalan ayat ini, ada sebuah isyarat walaupun hanya kecil, di mana kadang-kadang wanita musyrik itu dilihat dari sudut pandang kehidupan duniawi lebih menarik daripada wanita muslimah. Kadang-kadang ada orang yang berkata, “Kenapa sih ustadz, wanita-wanita kafir itu cantik-cantik?” Sebenarnya yang seperti ini bukan kebetulan. Asy-syaithon zayyana lahum (syetan menghiasi orang-orang kafir itu), sehingga tampak di mata sebagian kita mereka itu lebih cantik daripada wanita mukminah yang shalihah.
Jangankan antara orang kafir dengan orang muslim, antara sesama wanita Islam saja, dimana yang satu seorang muslimah yang taat dan yang satu wanita yang suka berbuat maksiat, wanita yang berbuat maksiat kadang-kadang kelihatan lebih cantik daripada yang taat kepada Islam. Kalau ditanya kepada seorang  laki-laki yang juga suka berbuat maksiat, “Kenapa Anda tidak tertarik kepada si Fulanah yang shalihah?” Orang yang ditanya ini menjawab, “Habis... orangnya memakai jilbab terus, dan tidak bisa berdandan, lagi.” Jadi orang yang seperti ini lebih tertarik untuk memilih istri yang centil, yang tidak menutup aurat, biasa berdandan dan suka memamerkan kecantikannya kepada orang lain. Kenapa bisa seperti ini? Sebabnya adalah asy-syaithon zayyana lahum.
Jadi orang yang dalam kehidupannya tidak  diwarnai dengan nilai-nilai Islam yang benar, ia akan lebih tertarik jika melihat wanita yang juga jauh dari cahaya Islam. Bahkan ada seorang suami yang serong dengan wanita lain, padahal istrinya lebih cantik. Orang berkata, “Heran..., kenapa dia nyeleweng dengan orang itu, padahal istrinya lebih cantik daripada dia.” Yang semacam ini benar-benar ada di masyarakat kita. Ada seorang pria yang berzina dengan wanita lain, padahal kata orang di sekitarnya, istrinya lebih cantik daripada wanita itu. Kenapa yang seperti bisa terjadi? Karena asy-syaithon zayyana lahum (syetan menghiasi mereka). Jadi orang yang hidupnya jauh dari nilai-nilai Islam, ia akan mudah jatuh ke dalam tipu daya syetan dengan selalu melihat wanita lain lebih cantik daripada istrinya sendiri. Ini bisa kita hindari jika yang menjadi mi’yar (standar) dalam kehidupan kita adalah jamalul imaan (kecantikan iman), jamalul qalb (kecantikan hati), bukan jamalul wajh (kecantikan wajah). Yang namanya wajah, semakin tua semakin tidak cantik. Tetapi kalau kecantikan iman, kecantikan hati, semakin tua semakin cantik.
Itu yang berlaku bagi seorang laki-laki mukmin yang hendak menikahi wanita musyrik. Sekarang bagaimana kalau kita menjadi orangtua yang mempunyai anak perempuan yang hendak dinikahi oleh seorang laki-laki musyrik? Allah mengatakan, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu)”. Inti penggalan ayat ini sama dengan penggalan ayat sebelumnya, yaitu dilarangnya pernikahan dengan seorang musyrik. Kalau pada penggalan sebelumnya yang beriman adalah laki-lakinya, pada penggalan ini yang beriman adalah yang wanita. Jadi kita tidak boleh menikahkan anak kita yang perempuan dengan laki-laki musyrik, kecuali bila dia mau beriman. Alasannya sama, yaitu pernikahan tersebut tidak bisa dibenarkan dengan menggunakan keimanan sebagai standar.
Kalau kita renungi, larangan-larangan Allah Swt. itu dalam bentuk jumlah fi’liyah (kalimat yang didahului oleh kata kerja). Kata kerja itu biasanya terkait dan terbatas dengan waktu. Karena yang namanya kerja, itu tidak bisa lepas dari masalah waktu, apakah sekarang, nanti, atau yang lampau. Hal ini berbeda dengan jumlah ismiyah (kalimat yang dimulai dengan kata benda), di mana jumlah ismiyah itu lebih luas daripada jumlah fi’liyah. Kaidah jumlah ismiyah adalah lits-tsubut wad dawam (tetap dan kontinyu). Dalam masalah pernikahan ini, setelah pada penggalan-penggalan sebelumnya memakai kata kerja, kemudian Allah melanjutkannya dengan jumlah ismiyah. Allah Swt. mengatakan, “Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. Kalimat wala’abdum mukminuun khairum mim musyrikiin ini adalah jumlah ismiyah.’abdum mukminuun disebut mubtada’ (kata depan) dan khairun  menjadi khabar (kata penjelas), oleh karena itu disebut jumlah ismiyah. Dan jumlah ismiyah itu sifatnya adalah lits-tsubut wad dawaam.
Ini mengandung makna bahwa dalam pandangan Allah Swt. orang beriman harus menegakkan hukum Allah dalam masalah pernikahan . Artinya, pernikahan antar agama itu tidak diperkenankan untuk selamanya, kalau memang iman kita memang tsaabit (kokoh), kalau memang iman kita itu dawaam (berkesinambungan). Berarti ketika ada seseorang yang mengaku beriman tetapi menikahkan anaknya dengan orang kafir, atau menikahkan anaknya dengan orang musyrik, maka dipertanyakan kebenaran keimanannya. Oleh karena itu, maka untuk menjelaskan hal ini dipergunakan jumlah ismiyah. Ini pentingnya kita memahami makna jumlah fi’liyah dan makna jumlah ismiyah. Jadi bukti bahwa tsubuutul imaan (kekokohan iman) dan dawaamul imaan (keberlangsungan iman), adalah apabila manusia-manusia yang ada dalam kehidupan rumahtangga adalah benar-benar insan yang mukmin dan mukminah. Kalau tidak demikian, jangan diharap eksistensi keimanan seseorang akan tetap ada.
Oleh karena itu jangan gampang-gampang menikahkan anak putri kita dengan orang kafir. Jangan sampai hanya karena diuji Allah dengan kemiskinan, ketika ada calon menantu yang datang dengan menggunakan mobil, diterima begitu saja. Jadi masalah keimanan ini dianggap hanya sesuatu yang kecil, padahal masalah keimanan atau aqidah adalah masalah yang terbesar dalam kehidupan manusia. Masalah pernikahan adalah qadhiyatul imaan (masalah keimanan), bukan masalah selera atau yang lainnya. Jadi dalam masalah pernikahan, Islam memberikan dhawaabit (prinsip) yang jelas. Masalah penikahan bukan sekedar iradah insaniyah (keinginan manusia) saja, tetapi merupakan iradah rabbaniyyah (kehendak Allah Swt.).
Ketika anak kita dipinang oleh seorang yang keimanannya baik, kita hendaknya mengizinkan pernikahan tersebut, karena jika ditolak maka akan terjadi fitnah di kemudian hari. Ketika sayyidatina Zainab bintu Jahsin Ra. hendak dinikahkan dengan seorang mukmin yaitu Zaid, karena Zaenab memandang Zaid yang merupakan pembantu Rasulullah Saw. itu derajatnya dibawah dia, Zaenab berkeberatan dengan calon suaminyanya. Zaenab sendiri adalah keturunan bangsawan, sementara Zaid itu dulunya adalah seorang budak. Sikap keberatan Zaenab ini kemudian diingatkan Allah, bahwa sikap demikian itu menandakan keimanannya ada khalal (ketidakberesan), sehingga turunlah firman Allah:
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS Al-Ahzab: 36).
Jadi seorang mukmin yang memilih selain dari apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasulullah Saw., berarti dalam keimanannya ada sesuatu yang kurang beres. Sikap Zaenab yang menolak Zaid hanya karena beliau mantan seorang budak, padahal Zaid adalah pilihan Rasulullah Saw., ditegur oleh Allah Swt. dengan ayat ini, sehingga akhirnya Zaenab mau menikah dengan Zaid. Ini menegaskan kembali bahwa iman merupakan satu-satunya standar dalam masalah apapun, termasuk dalam masalah pernikahan ini.
Ini harus kita tekankan di masyarakat kita, karena ini merupakan masalah yang sangat riil dan sering dihadapai umat Islam. Betapa banyak orangtua yang berprinsip ‘yang penting laku’ ketika mempunyai anak putri yang sudah menginjak usia nikah. Orang yang seperti ini menganggap anaknya seperti barang dagangan, yang penting laku. Apalagi kalau yang menanyakan anaknya itu orang kaya, yang ketika datangnya membawa mobil. Ini merupakan hal yang harus ditekankan pada masyarakat kita. Apalagi dalam masa krisis seperti sekarang ini, orang sudah tidak selektif lagi tentang masalah keimanan dalam masalah pernikahan.
Janganlah menjual iman dan agama dengan secuil kenikmatan dunia. Iman dan Islam adalah tiket masuk surga yang harus dijaga. Pernikahan antaragama hanya akan mempercepat degradasi iman lantaran adanya pandangan setiap agama itu sama. Padahal Islam adalah satu-satunya agama yang diakui dan diterima di sisi Allah Swt.
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kiab kecuali sesudah dating pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya ” (QS Ali Imran: 19).
Sekali lagi, Islam adalah diinul usrah (agama keluarga). Islam sangat memperhatikan masalah rumahtangga, termasuk dalam pembentukannya. Oleh karena itu, dalam masalah pernikahan ini, kita harus menyesuaikan diri secara total dengan aturan Islam. Keluarga dengan seluruh aspek dan unsurnya harus tunduk pada aturan Islam, harus tunduk kepada Al-Qur’anul Karim.
Semua aturan Allah itu pada dasarnya adalah untuk kebahagiaan kita sendiri, termasuk dalam masalah pernikahan. Memang kadangkala hawa nafsu kita merasa berat untuk selalu taat pada aturan-aturan Allah Swt. Namun kalau ajakan hawa nafsu itu kita turuti, kita akan mendapatkan penderitaan di kemudian hari. Allah mengingatkan:
“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu binasa” (QS Thaha: 16).
Mudah-mudahan kita bisa mengalahkan hawa nafsu kita, sehingga terbebas dari kesesatan dan kebinasaan. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto