Riya'

29 Apr 2013


“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS Al-Baqarah: 264).

Bahaya yang terbesar bagi seorang Muslim adalah manakala ia melakukan perbuatan syirik kepada Allah Swt. Karena orang yang melakukan perbuatan syirik berarti ia memberikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada yang tidak berhak. Dengan kata lain, syirik berarti merampas kedaulatan Allah Swt., merampas hak Allah Swt., yang pada gilirannya akan terjadi fitnah terbesar dalam sepanjang kehidupan manusia. Makanya dalam Al-Qur’an al-Karim, syirik ada yang diredaksikan dengan fitnah. Allah Swt. berfirman,
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” (QS Al-Baqarah: 193).
Fitnah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah syirik. Karena selain merampas kedaulatan Allah Swt. berupa ‘ubudiyah, syirik juga membuat manusia akan terampas kemanusiaannya, kemerdekaannya, dan hal-hal yang paling khas dalam kehidupannya.
Ketika terjadi syirik, maka akan terjadi penghancuran atau penyobekan hati manusia. Karena hidupnya, setelah terjadi syirik itu tidak akan bisa menghadap ke satu arah, ke satu orientasi di dalam beribadah kepada Allah. Maka manusia yang terkena penyakit syirik ini ada yang sampai demikian bodohnya menyembah batu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy dulu yang menyembah berhala, kemudian juga sampai ada orang yang menyembah pohon, begitu juga ada yang menyembah manusia, sehingga ada manusia yang sampai mengatakan, “Hidup mati ikut bung Fulan...”.
Bahkan ada juga segolongan masyarakat yang menyembah golongan masyarakat yang lainnya. Misalnya karena ada orang yang menganggap bahwa Barat lebih maju, maka semua yang berasal dari Barat disembahnya. Inilah fenomena kehancuran manusia ketika terjatuh dalam suatu penyakit syirik.
Ada bentuk syirik yang juga sangat berbahaya, yaitu riya`, yang sering disebut sebagai asy-syirku khoffii (syirik kecil). Riya` mempunyai tingkatan-tingkatan, yang sebagian lebih dahsyat daripada sebagian yang lainnya. Dan tingkatan-tingkatan ini mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sendi-sendinya. Namun demikian, rukun-rukun atau pilar-pilarnya ada tiga, yaitu:
Pertama, al-muroo-a bihi (yang di-riya`i), apakah shalat, tilawah Al-Qur’an, infaq, dan lain sebagainya. Jadi ketika ada orang yang riya`, pasti ada yang di-riya`i.
Kedua, wal-muroo-a bi ajrihi (dan yang di-riya`i untuknya). Artinya, ketika ada orang riya`, tentu ada tujuannya. Apakah agar dipuji, atau agar pangkatnya naik, dan lain sebagainya.
Ketiga, nafsu qoshdir riya` (hakekat dari tujuan riya`).
Berkenaan dengan tujuan riya`, ada beberapa kemungkinan, yaitu:
a.         Orang berbuat riya` semata-mata untuk riya`, yaitu orang yang berbuat riya` tanpa sedikt pun ada keinginan untuk beribadah kepada Allah Swt. Misalnya ada orang yang shalat dan sedikit pun tidak ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt.
b.        Orang berbuat riya`, akan tetapi masih juga ingin mendapatkan pahala dari Allah Swt. Terhadap riya` seperti ini masih dibagi lagi dalam beberapa kategori, di antaranya:
v  Keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah lebih kuat daripada riya`.
v  Keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah lebih lemah daripada riya`.
v  Keinginannan untuk mendapatkan pahala dari Allah sama kuatnya dengan riya`.
Dalam tiga keadaan seperti ini, maka riya` ini mempunyai empat tingkatan yaitu, pertama, kalau ada orang yang semata-mata riya` ketika melakukan sesuatu dan tidak sedikit pun ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt., maka bentuuk riya` seperti ini merupakan riya` yang paling berat. Riya` seperti ini diperagakan oleh orang-orang munafiq. Misalnya orang yang shalat atau infaq atau membaca Al-Qur’an karena ingin dilihat banyak orang. Seandainya tidak ada orang yang melihatnya, maka dia tidak akan shalat atau berinfaq atau membaca Al-Qur’an. Ini adalah riya` yang paling berat. Orang semacam ini adalah orang yang sangat dibenci oleh Allah Swt.
Kedua, orang yang riya` akan tetapi juga ada keinginan untuk mendapatkan pahala dari Allah, akan tetapi tujuan itu lemah sekali, sehingga tidak terlalu kuat untuk memotivasinya untuk beribadah kepada Allah Swt. Orang seperti ini baru mau melakukan suatu ibadah kalau bersama-sama. Kalau sendirian, keinginannya untuk mendapatkan pahala dari Allah ini tidak cukup memotivasinya untuk melakukan suatu ibadah, karena keinginan tersebut sangat lemah. Kedudukan orang yang kedua ini dekat dengan kedudukan orang yang pertama.
Ketiga, antara riya` dengan ingin mendapatkan pahala dari Allah, sama besarnya. Orang seperti ini dalam keadaan sendirian maupun ketika banyak orang, sama-sama mampu mendorongnya untuk melakukan suatu amal Islami. Contoh dari orang seperti ini adalah ketika seseorang datang ke suatu pengajian misalnya, ketika dia ditanya, “Apa yang mendorong Anda untuk datang ke pengajian ini?” Jawabannya mungkin,  “Daripada saya di rumah sendirian...”, atau “Karena saya tidak ada acara yang lain...”.
Orang semacam ini, kalau pun datang ke pengajian, maka perhatiannya pada materi pengajian yang diberikan tidak bisa sepenuhnya, karena motivasinya memang hanya 50%. Terhadap orang yang semacam ini bisa saja amalnya merusak apa yang memperbaikinya, akan tetapi bisa juga mendapatkan pahala kalau kebetulan yang mendominasi hatinya adalah dorongan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt.
Keempat, dia beramal karena Allah Swt, akan tetapi kalau dilihat orang, semangatnya bertambah. jadi dilihatnya oleh orang bukan satu-satunya motivasi dalam beramal. Sebenarnya motivasinya adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, akan tetapi kalau ada yang melihat tambah semangat. Jadi riya` ini bukan aslinya, akan tetapi memperkuat motivasinya saja. Orang seperti ini kalau tidak ada yang melihat pun akan tetap melakukan amal Islami.
Namun, ketika dilihat orang tambah semangat, maka itu pun termasuk riya`. Insya Allah perasaan seperti ini tidak akan menghapus pahalanya, karena riya-nya ini hanya memberikan dorongan saja, dan bukan satu-satunya motivasi. Akan tetapi sudah barang tentu bisa mengurangi pahala, dan mungkin juga dia mendapatkan sanksi sesuai dengan tujuan riya`nya, sebagaimana bisa ditambah pahalanya ketika menguatkan dorongan untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt., karena orang yang seperti ini labil. Di sini ada firman Allah dalam hadits Qudsi yang berkaitan dengan hal ini, yaitu Allah berfirman, “Aku adalah yang terkaya dari yang kaya daripada syirik (HR Ibnu Lumazah dan Ibnu Hudzaimah dalam Shahihnya Ibnu Huzaimah dan keterangan para rawinya yang terpercaya).
Dari hadits Qudsi ini, sebagian ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan ‘anisy syirki adalah apabila kedua tujuan tadi itu sama atau riya`-nya lebih berat.
Berdasarkan yang di-riya`-i (al-muroo’a), riya` terbagi dua, yaitu riya` dengan pokok-pokok ibadah dan riya` dengan sifat-sifat ibadah.
Riya` dengan pokok-pokok ibadah adalah riya` yang paling berat. Bentuk riya` seperti ini terbagi menjadi,
a.         Riya` bi ashlil iiman (riya` dengan prinsip keimanan). Ini adalah riya` yang paling berat. Mengapa? Karena orang yang terkena riya` seperti ini akan berada di neraka untuk selama-lamanya. Dan itu adalah bventuk riya` orang-orang munafik. Mereka memperlihatkan keimanan, akan tetapi pada dasarnya mereka tidak beriman. Dalilnya adalah semua ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang orang-orang munafik.
b.        Riya` bi ‘ushulil ‘ibadah (riya` dengan pokok-pokok ibadah), akan tetapi dia tetap beriman. Jadi, ia tetap percaya dengan pokok-pokok agama. Itu pun merupakan perbuatan yang dosanya besar di sisi Allah Swt., walaupun berbeda dengan yang pertama. Contoh riya` seperti ini adalah orang yang memiliki harta benda, akan tetapi ada di tangan orang lain. Kemudian pemilik harta itu memerintahkan kepada orang yang memegang hartanya agar mengeluarkan zakatnya. Karena kalau zakatnya tidak dikeluarkan, ia takut dicela. Jadi, zakat itu dikeluarkan karena hartanya tidak berada di tangannya. Seandainya harta itu ada di tangan sendiri, mungkin zakatnya tidak dikeluarkan.
Dan yang mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang hanyalah Allah Swt., sehingga kita dilarang untuk memvonis dengan menuduh orang lain. Marilah kita koreksi diri kita masing-masing. kalau kita mempunyai harta yang dipegang teman kita, kemudian kita menyuruhnya mengeluarkan zakat karena harta itu berada pada tangan teman kia, yang seperti ini termasuk riya`.
Dalam masalah shalat, misalnya, suatu saat bisa saja si fulan berada di tengah-tengah saudaranya kaum Muslimin. Biasanya kalau dia sendirian, tidak pernah mau shalat. Akan tetapi karena berada di tengah-tengah saudaranya, maka dia shalat.
c.         Riya` dengan yang sunnah. Jadi seandainya tidak ia kerjakan, tidaklah berdosa. Misalnya, orang yang menjenguk orang sakit, memandikan mayit, shalat jenazah, dan lain sebagainya. Ibadah-ibadah sunnah itu mungkin tidak dikerjakannya bila ia dalam keadaan sendiri.
Demikianlah sekilas tentang bentuk-bentuk riya`, semoga kita tidak termasuk orang-orang yang merugi lantaran ada penyakit riya` di dalam hati kita. Kita berlindung kepada Allah Swt. dari penyakit riya` yang dapat menghancurkan amal shalih yang telah kita lakukan. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto