Menahan Marah

3 Jan 2013


Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah Saw., “Berilah aku nasehat.” Nabi Saw. menjawab, “Jangan Marah.” Laki-laki itu mengulangi permintaannya beberapa kali, dan lagi-lagi Nabi menjawab, “Jangan marah.” (HR Bukhari).
Marah adalah salah satu tabiat manusia. Sebagaimana hawa nafsu yang cenderung mendorong seseorang berbuat menyimpang, sifat marah juga kerap membuat seseorang melakukan sesuatu tanpa kontrol. Orang yang sedang marah, rasio atau akalnya ditutupi kabut, sehingga tidak mampu berpikir jernih. Seseorang yang sedang marah, lalu berteriak-teriak, membanting atau memukul sesuatu, pada hakikatnya ia tidak atau belum sempat memikirkan apa yang ia perbuat.
Seseorang yang sedang marah, pada hakikatnya ia sedang disusupi oleh setan. Karena sifat amarah itu membakar seperti api, bahan di mana setan berasal. Api yang sanggup mendidihkan darah jiwa manusia yang tenang. Api yang dapat memerahkan mata jasad, sekaligus menutup mata akal dan hati. Akibat dominasi marah terhadap akal, seseorang akan mudah untuk melakukan perbuatan dosa. Dan orang yang banyak melakukan dosa, sementara amal kebaikannya tak mampu mengimbangi dosa-dosanya, maka ia akan diseret ke dalam api neraka.
Sebaliknya, orang yang mampu meredam dan mengendalikan marah, berarti ia berhasil menempatkan akal dan rasionya di atas sifat marahnya, sehingga ia cenderung berbuat kebaikan. Ketika seseorang mampu menjaga diri dari sifat marah, maka ia akan menjadi lebih dekat dengan Allah Swt.
Abdullah bin Umar ra. bertanya, “Apa yang dapat menjauhkan aku dari murka Allah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Jangan Marah.” (HR Imam Ahmad). Inilah hikmah mengapa orang yang mampu menguasai marah akan mendapatkan surga dari Allah Swt.
Namun, marah tidak selalu jelek dan menyimpang. Artinya, pada batas-bagas tertentu marah adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Maka, bagi seorang Muslim, sikap marah dan cinta terhadap sesuatu harus didasari atas ketundukkan kepada Allah Swt. Dengan landasan ini, dalam kondisi tertentu seorang Muslim bahkan diharuskan untuk marah. Kita diajarkan agar mencintai seseorang atau sesuatu karena Allah Swt, sebagaimana kita juga diwasiatkan agar marah kepada seseorang atau sesuatu karena Allah (al-hubbu wal bughdhu fillah).
Jadi, yang dilarang oleh Rasulullah Saw. adalah memiliki sifat pemarah. Karena sifat pemarah merupakan salah satu ciri kelemahan seseorang. Orang yang memiliki sifat pemarah biasanya mengidap berbagai penyakit jiwa, seperti sombong, merasa tinggi, bangga diri, merendahkan orang lain, banyak bercanda, suka berdebat, ambisius, dan banyak melakukan perbuatan yang tidak berguna. Simaklah penegasan Rasulullah Saw.,
“Orang yang kuat bukanlah orang yang jagoan dalam gulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah” (HR Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, Allah Swt. memuliakan orang yang mampu meredam dan menekan sifat marahnya untuk kemudian disalurkan pada waktu dan tempat yang benar. “Barangsiapa yang menahan marah, padahal ia sebenarnya mampu untuk melampiaskannya, maka pada hari kiamat, Allah Swt. akan memanggilnya di atas penghulu makhluk-Nya, sehingga ia disuruh memilih bidadari mana yang ia inginkan” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto