Antara Fanatisme dan Ketaatan

13 Mei 2013

“Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’” (QS Fushshilat: 5).

Kadang kita mendengar seseorang melontarkan ungkapan “fanatik” kepada Muslim yang ketat dan hati-hati dalam melaksanakan ajaran Islam. Seorang Muslim yang mempertahankan pendapat bahwa berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahram adalah terlarang, dianggap fanatik. Yang mengatakan jilbab itu wajib adalah fanatik. Yang mengharamkan pacaran dicap fanatik, dan seterusnya. Sebetulnya apa sih makna fanatik itu?
Masyarakat sering kurang bisa membedakan antara fanatik dengan fanatisme. Dalam bahasa Inggris, fanatic diartikan sebagai adhering strickly to a religion yang artinya mendukung penerapan nilai-nilai agama secara ketat. Jadi, fanatik dalam beragama adalah sebuah keharusan. Yang dilarang adalah fanatisme dalam beragama, yaitu memaksakan pemahaman atas nilai agama kepada orang lain. Namun, kita pun jangan terjebak pada opini yang mendiskreditkan dakwah sebagai sebuah pemaksaan terhadap keberagamaan seseorang. Dakwah adalah sebuah kewajiban setiap Mukmin, bukan sebuah fanatisme.
Meski kita telah paham perbedaan fanatik dengan fanatisme, namun ungkapan fanatik yang ditujukan kepada seorang Muslim yang ketat dan sangat hati-hati dalam menerapkan nilai-nilai Islam terhadap diri dan keluarganya seperti diungkapkan di atas, seringkali bermakna negatif, cenderung ke arah fanatisme.
Fanatisme adalah kata terjemahan untuk ta’ashshub yang berasal dari kata ta’ashshaba. Orang yang memiliki sifat fanatik disebut dengan muta’ashshib. Dalam bahasa Arab ta’ashshub juga diartikan sebagai asy-syadd (pengikatan) dan asy-syiddah (kekerasan). Jika dikatakan, “Ta’shshaba rajulun ra`sahu”, berarti ia mengikat kepalanya dengan sorban. Sedangkan kata al-‘ashaabah artinya kelompok yang saling mengikat antara satu anggota dengan yang lain. Ta’ashshub adalah lawan dari kata tasamuh (toleran).
Larangan fanatisme (ta’ashshub) sangat jelas diungkap dalam hadits Rasulullah Saw., “Bukan termasuk golongan kami (kaum Mukminin) orang yang mengajak kepada fanatisme, atau membunuh karena fanatisme, atau mati dalam keadaan fanatisme” (HR Abu Dawud dari Jabir).
Menurut Ibnu Taimiyah, hadits ini menjelaskan bahwa fanatisme seseorang secara mutlak pada suatu kelompok merupakan perbuatan kaum jahiliyah. Ini jelas dilarang dan dicela. Berbeda dengan perbuatan mencegah orang zalim atau membantu orang yang dizalimi, tanpa didorong oleh permusuhan, maka itu adalah baik, bahkan wajib hukumnya. Tak ada kontradiksi antara hal tersebut dengan ungkapan hadits, “Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi.” Menolong yang dizalimi kita sudah paham, sedangkan menolong yang menzalimi adalah dengan cara mencegah orang tersebut berbuat zalim.
Arti fanatisme yang tercela, menurut Prof. Yusuf Qaradhawi adalah jika seseorang membela secara membabi buta terhadap keyakinannya, madzhabnya, pemikirannya, pendapatnya, kaumnya, dan kelompoknya, sehingga ia tidak mau melakukan dialog dengan orang yang berbeda dalam prinsip-prinsip dasar maupun variabel cabang dengannya. Atau jika ia menutup semua pintu rapat-rapat dari setiap orang yang hendak mendekat kepadanya, dan ia hanya mau menghadapi mereka dengan pedang.
Definisi fanatisme di atas amat penting untuk dipahami. Sebab sebagian orang ada yang menganggap siapa pun yang memiliki komitmen keagamaan yang tinggi sebagai orang fanatisme. Khususnya, jika ia berpegang teguh pada tuntunan perilaku yang ditinggalkan oleh kebanyakan orang. Seperti, memelihara jenggot bagi laki-laki, mengenakan jilbab atau cadar bagi wanita, dan sebagainya.
Sikap seperti di atas, sesungguhnya bukan termasuk fanatisme, jika lahir dari kesadaran diri dan dorongan batinnya yang terdalam akan suatu hukum syari’at yang ia pahami. Kita tidak boleh menyuruh orang yang meyakini sunnahnya memanjangkan jenggot untuk mencukur jenggotnya, hanya untuk menyenangkan orang lain atau agar tidak dianggap orang fanatisme. Kita pun tidak boleh melarang wanita mengenakan jilbab di sekolah atau di kantor dengan alasan aturan atau ketentuan yang dibuat-buat.
Sebab, pelarangan seperti itu sesungguhnya merupakan bentuk pemaksaan yang termasuk kategori fanatisme, yaitu fanatisme jahiliyah. Kita tidak bisa menekannya untuk menanggung dosa dan meninggalkan sesuatu yang wajib baginya.
Kita baru bisa mengecam dan mencapnya fanatisme, jika ia hendak memaksakan pendapatnya pada setiap orang yang berbeda pandangan dengannya. Atau, menuduh mereka melakukan perbuatan maksiat dan lemah komitmen agamanya, hanya karena ia meyakini kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita. Meskipun kita tahu bahwa jilbab adalah sesuatu yang wajib bagi wanita Muslimah, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nur ayat 31.
Fanatisme terjadi bila seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan tidak mau membuka pintu untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan keyakinan, pemikiran, pandangan fiqih, pandangan politik, serta tidak mau melakukan introspeksi sedikit pun. Ia malah menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar, sedangkan pendapat orang lain salah dan keliru.
Seseorang yang bersikap fanatisme tidak melihat selain dirinya, tidak mendengar kecuali ucapannya sendiri, dan tidak percaya pada orang lain di luar kelompok atau jamaah tempat ia berafiliasi. Dari titik itulah ia berangkat dan ke arah itu pulalah ia finish. Ia menutup pikiran dan dirinya dari orang lain. Orang di luar kelompoknya dianggap “orang lain” (the others). Bahkan ada mengkafirkan lantaran tidak mau memberikan loyalitas kepada kelompoknya.
Bentuk fanatisme semacam ini sudah ada sejak lama. Al-Qur`an al-Karim menceritakan kepada kita fanatisme kaum musyrikin, baik dari kalangan kaum Quraisy maupun yang lain, ketika berhadapan dengan seruan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’” (QS Fishshilat: 5).
Dalam ayat lain, ditegaskan, “Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur`an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’” (QS Fushshilat: 26).
Sikap fanatisme jahiliyah kaum musyrikin bahkan telah mencapai puncaknya ketika mereka menentang kebenaran isi Al-Qur`an sebagai Kalamullah.
“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Allah, jika betul (Al-Qur’an) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih’” (QS Al-Anfal: 32).
Fanatisme kaum musyrikin terhadap kelompoknya pun tak kalah dahsyatnya. Sampai-sampai mereka menggugat wewenang dan kekuasaan Allah dalam memilih Rasul-Nya. Mereka menolak utusan Allah yang bukan berasal dari kelompoknya.
“Dan mereka berkata, “Mengapa Al Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?’” (QS Az-Zukhruf: 31).
“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan), ‘Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah) nya.’ Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya’” (QS Al-Furqan: 41-42).
Itulah bentuk fanatisme yang sesungguhnya. Mereka mengunci mati pendengaran, penglihatan dan hati mereka untuk menerima kebenaran yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti’” (QS Al-Baqarah: 170-171).
Zaman telah berubah. Makna fanatisme pun mengalami distorsi. Orang yang berusaha keras untuk menerima dan mensosialisasikan kebenaran untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seringkali mendapat cemoohan sebagai fanatisme. Sementara, mereka yang memaksakan dan memasyarakatkan keburukan, kejahatan, kekejian, perjudian, perzinaan, dan yang sejenisnya tidak pernah dikecam. Bahkan masyarakat cenderung membiarkannya. Semoga kita tidak termasuk orang yang memiliki sikap fanatisme jahiliyah. Na’uudzubillahi min dzalik. Wallahu a’lam bishshawab.

1 comments:

  1. said wahid mengatakan...:

    subhanalloh... izin copas ustadz... tambah ilmu...

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto