Analisis Terhadap Strategi Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara

21 Jan 2013



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pengembangan masyarakat (community development) merupakan konsep pembangunan masyarakat yang dikembangkan dan diterapkan sejak dasawarsa 1960-an, yaitu dalam rencana pembangunan lima tahun 1956-1960 atau dikenal dengan nama Rencana Juanda yang disusun oleh Biro Perancang Negara (Zamhariri, 2008). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan sejak tahun 1954 telah menggunakan istilah community development sebagai suatu penggunaan berbagai pendekatan dan teknik dalam suatu program tertentu pada masyarakat setempat sebagai kesatuan tindakan dan mengutamakan perpaduan antara bantuan yang berasal dari luar dengan keputusan dan upaya masyarakat yang terorganisasi. Program-program tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong prakarsa dan kepemimpinan setempat sebagai sarana perubahan sesungguhnya. Di negara-negara berkembang, program ini memberikan perhatian utama pada kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan warga masyarakat, termasuk di dalamnya pemenuhan kebutuhan non-material (Mohd. Shukri Abdullah, 1994).
James Christenson dan Jerry Robinson tahun 1980 seperti dikutip oleh Lyon (1987) dalam Saharudin (2000) menyatakan bahwa dalam konsep pembangunan masyarakat, komunitas digambarkan sebagai elemen-elemen pokok masyarakat yang ada dalam batas geografis tertentu dimana mereka dapat mengembangkan interaksi sosial dengan ikatan-ikatan psikologi satu sama lain dan dengan tempat tinggal mereka. Selanjutnya James Christensen mengidentifikasi tiga pendekatan dalam pengembangan masyarakat, yaitu menolong diri sendiri (self-help), pendekatan konflik, dan pendampingan teknik (technical assistance).
Dalam kajian-kajian tentang pemberdayaan masyarakat, para pakar ilmu sosial lebih suka menggunakan istilah pengembangan masyarakat yang sifatnya bottom up daripada pembangunan masyarakat yang cenderung bersifat top down untuk menerjemahkan kata community development.
Pengembangan masyarakat dengan demikian merupakan suatu aktivitas
pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan. Syarat pembangunan kerakyatan menurut Corten (1990) adalah tersentuhnya aspek-aspek keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan adanya partisipasi masyarakat. Dalam konteks seperti itu maka pembangunan merupakan gerakan masyarakat, seluruh masyarakat, bukan proyek pemerintah yang dipersembahkan kepada rakyat di bawah. Pembangunan adalah proses di mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka dalam memobilisasi dan mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri.
Dalam konsep pembangunan masyarakat juga dikenal istilah pemberdayaan yang berasal dari kata empowerment. Konsep ini digunakan sebagai alternatif dari konsep-konsep pembangunan yang selama ini dianggap tidak berhasil memberikan jawaban yang memuaskan terhadap masalah-masalah besar, khususnya masalah kekuasaan (power) dan ketimpangan (inequity) (Kartasasmita, Ginandjar 1996).
Pemberdayaan adalah suatu proses menolong individu dan kelompok masyarakat yang kurang beruntung agar dapat berkompetisi secara efektif dengan kelompok kepentingan lainnya dengan cara menolong mereka untuk belajar menggunakan pendekatan lobi, menggunakan media, terlibat dalam aksi politik, memberikan pemahaman kepada mereka agar dapat bekerja secara sistematik, dan lain-lain (Ife, 1995). Sedangkan Friedman (1992) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah politik pembangunan alternatif yang menekankan keutamaan politik sebagai sarana pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi, dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty” (Kartasasmita, Ginanjar 1996).
Kaitan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diuraikan dengan sangat baik oleh Adi Fahrudin yang mengatakan bahwa pengembangan masyarakat harus didasarkan pada asumsi, nilai, dan prinsip-prinsip agar dalam pelaksanaannya dapat memberdayakan masyarakat berdasarkan inisiatif, kemampuan, dan partisipasi mereka sendiri. Dengan demikian, konsep pengembangan masyarakat yang di dalamnya terkandung makna partisipatif harus benar-benar dapat memberdayakan masyarakat yang ditunjukkan oleh kemampuan mereka menolong diri mereka sendiri (self-help) dan dapat bersaing secara efektif dengan kelompok masyarakat lainnya.

Rumusan Masalah
Dalam kehidupan komuniatas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam suatu komunitas. Upaya pemberdayaan kelembagaan petani guna meningkatkan perhatian dan motivasi berusahatani akan lebih memberikan hasil bila memanfaatkan makna dan potensi tiga kata kunci utama dalam konteks kelembagaan, yaitu norma, perilaku, serta kondisi dan hubungan sosial. Signifikansi ketiga kata kunci tersebut dicerminkan dalam perilaku dan tindakan petani, baik secara individu maupun kolektif (Suradisastra, Kedi 2008).
Kelembagaan petani memiliki titik strategis dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani. Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan.
Menurut Dimyati ( 2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah:
1.         Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran.
2.         Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm).
3.         Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.
Masalah yang hampir sama juga ditemukan pada petani padi sawah beririgasi di Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan petani (seperti, kelompoktani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan kelembagaan permodalan) dan diharapkan dapat melindungi bargaining position petani. Tindakan perlindungan sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani.

Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui kondisi usahatani padi lahan sawah di Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
2.      Mengetahui kondisi kelembagaan dalam mendukung pemberdayaan petani padi lahan sawah di Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
3.      Merumuskan strategi pemberdayaan petani padi lahan sawah di Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan melalui penguatan kelembagaannya.

ANALISIS KASUS
Salah satu faktor utama yang menyebabkan ketertinggalan sektor pertanian dibanding sektor lainnya adalah lemahnya posisi tawar petani. Lemahnya posisi tawar petani merupakan suatu gejala yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat lemahnya proses pemberdayaan masyarakat dan kelompok yang dilakukan. Pengembangan lembaga dan pemberdayaan masyarakat selama ini dilakukan lebih banyak untuk kepentingan pembangunan, bukan untuk kepentingan masyarakat. Lembaga yang dibentuk bukan berdasarkan “kemauan dan kebutuhan” petani, tetapi lebih mengarah pada kebutuhan administrasi proyek. Seiring dengan itu, proses pemberdayaan masyarakat juga tidak dilakukan sesuai dengan tujuan pengembangan kelembagaan. Sehingga masyarakat merasa tidak punya kepentingan dengan apa yang dilakukan, sekalipun namanya adalah pembangunan.
Akar masalahnya adalah kelembagaan petani. Faktor apa yang menyebabkan kelembagaan petani tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dalam memperjuangkan nasib anggotanya. Apakah karena proses pembentukan lembaganya atau karena rendahnya kualitas sumberdaya pengurus lembaga tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendasar untuk lebih mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam menerima sesuatu yang berdampak pada kualitas dan kemampuannya, metode apa yang lebih mudah diterima dan metode mana yang kurang disukai petani.
Penelitian tentang “Analisis Strategi Pemberdayaan Petani dalam Primatani Lahan Sawah Irigasi” dilaksanakan di Dusun VI yang merupakan salah satu dari enam dusun dalam wilayah Desa Siparepare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan. Dibanding dengan dusun-dusun lainnya, secara sosial dan ekonomi masyarakat dusun VI masih tertinggal. Atas dasar itu dusun VI dijadikan sebagai fokus kegiatan Prima Tani. Luas sawah irigasi yang terbentang dalam wilayah ini lebih kurang 82 ha dan sebagian dikuasai oleh penduduk dusun lainnya. 
Jumlah penduduk di Dusun VI adalah 358 jiwa yang terhimpun dalam 62 KK. Tingkat pendidikan mayoritas kepala keluarga hanya Sekolah Dasar (SD). Rataan penguasaan lahan sekitar 0,4 ha, dengan tingkat pendapatan Rp 900.000/KK/bulan. Sumber utama pendapatan diperoleh dari usahatani padi sawah irigasi, usaha lahan pekarangan dan mocok-mocok (kerja serabutan).
Letak wilayah lebih kurang 200 meter dari jalan utama Lintas Sumatera, bisa dimasuki kendaraan bermotor. Jalan penghubung merupakan benteng irigasi terdiri dari tanah yang dipadatkan. Akses dari dan keluar cukup lancar. Pasar tradisional setempat berjarak lebih kurang dua kilometer.
Program yang diimplementasikan terhadap petani padi sawah beririgasi di Desa Siparepare adalah Prima Tani. Prima Tani merupakan Program rintisan pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian untuk memasyarakatkan inovasi hasil penelitian dan pengembangan pertanian kepada masyarakat dalam bentuk laboratorium agribisnis di lokasi yang mudah dilihat dan dikenal masyarakat petani. Tujuan utamanya adalah untuk mempercepat waktu, meningkatkan kadar dan memperluas prevalensi adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Selain itu, juga untuk menghimpun umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan lokasi, yang merupakan informasi esensial dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan pengguna.
Kegiatan Prima Tani di Desa Siparepare dimulai bulan Mei tahun 2005. Diawali dengan penelusuran wilayah melalui PRA (Participatory Rural Appraisal) dan Base Line Survey, dilanjutkan dengan sosialisasi program. Kegiatan utama yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat melalui pembenahan kelembagaan, pengenalan dan pembimbingan penerapan teknologi spesifik, pengembangan industri pedesaan dan fasilitasi pemasaran produk yang dihasilkan. Proses pemberdayaan dilakukan melalui kegiatan pelatihan, pembelajaran lapang, diskusi, magang, dan penyebaran informasi melalui media cetak dan media proyeksi. Disamping itu petani dan pengurus lembaga juga diajak ikut serta dalam kegiatan seminar, lokakarya, pertemuan-pertemuan menyangkut pengembangan program Prima Tani, fasilitasi ke instansi dan pengusaha terkait, serta pertemuan resmi dengan para pejabat atau pengambil keputusan terkait. Dalam penelitian ini, faktor yang diuji masih terbatas pada lima kegiatan pertama sesuai urutan.
Dari kelima strategi pemberdayaan di atas, analisis statistik menunjukan bahwa secara parsial tidak satupun yang berpengaruh nyata (t hitung < t tabel),  terhadap peningkatan kualitas sumberdaya petani. Tetapi di antaranya ada tiga kegiatan yang banyak diminati petani yaitu, pelatihan, magang dan pembelajaran lapang. Sementara kegiatan diskusi dan konsultasi serta media cetak dan media terproyeksi kurang disukai.
Dari pengujian statistik, tampaknya proses pelatihan yang dilakukan mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani.  Kondisi ini ditunjukan oleh angka koefisien regresi yang memberikan pengaruh sebesar 53,90 %. Sedangkan magang dan pembelajaran lapang masing-masing memberikan pengaruh sebesar 4 % dan 43,75 %. Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah pengaruh diskusi dan konsultasi serta media yang memberikan pengaruh negatif, yaitu masing-masing -1,06 % dan -5,60 %.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa munculnya pengaruh negatif dari diskusi dan konsultasi disebabkan karena sebagian besar petani tidak atau kurang menyukai proses diskusi dan konsultasi. Disamping itu, diskusi juga merupakan suatu kegiatan yang membosankan bagi petani, karena lebih banyak membahas tentang teori.
Sedangkan pengaruh negatif media disebabkan karena media yang diberikan dalam kegiatan Prima Tani di Siparepare belum tepat dan membutuhkan perbaikan yang menyeluruh. Seharusnya media yang diberikan lebih selektif bahasa dan materinya, serta diberikan menyeluruh ke semua lapisan masyarakat. Disadari memang bahwa media yang diberikan lebih banyak menyangkut hal-hal yang belum dilakukan pada kegiatan Prima Tani, sehingga manfaatnya bagi peningkatan kualitas masyarakat menjadi tidak efektif.

STRATEGI PENGEMBANGAN MASYARAKAT DAN KELEMBAGAAN
            Penelitian yang memberikan hasil negatif dari variable diskusi-konsultasi dan media terhadap program pemberdayaan petani padi sawah beririgasi di Desa Siparepare dapat dikatakan cukup mengejutkan. Mungkin juga ini sebuah anomali. Selayaknya variabel diskusi-konsultasi dan media memberikan pengaruh positif terhdap program, meskipun kecil.
Penjelasan terhadap kedua variabel di atas adalah karena sebagian besar petani tidak atau kurang tertarik pada proses diskusi dan muatan media yang membosankan. Sesungguhnya ada beberapa strategi yang dapat diaplikasikan supaya proses diskusi-konsultasi dan media dapat menarik minat mereka terhadap program pemberdayaan.
1.        Memilih inovasi tepat guna.
Inovasi merupakan istilah yang telah dipakai secara luas dalam berbagai bidang,, baik industri, pemasaran, jasa, termasuk pertanian. Secara sederhana, Adams (1988) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu ide atau objek yang dianggap baru oleh individu. Dalam perspektif pemasaran, Simamora  (2003) menyatakan  bahwa inovasi adalah suatu ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh individu atau grup yang relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, dan ide yang diangap baru oleh seseorang. Definisi yang lebih lengkap  disampaikan  oleh  Van Den Ban dan Hawkins (1996) yang menyatakan bahwa sebuah inovasi adalah ide, metode, atau obyek yang dianggap baru oleh individu, tetapi tidak mesti merupakan hasil penelitian terbaru.
Dari beberapa definisi tersebut, inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu (a) ide atau gagasan, (b) metode atau praktek, dan (c) produk (barang  dan  jasa). Untuk dapat disebut inovasi, ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat “baru”. Sifat “baru”  tersebut tidak selalu berasal dari hasil penelitian mutakhir. Hasil penelitian yang telah lalu pun dapat disebut inovasi, apabila diintroduksikan kepada masyarakat tani yang belum pernah mengenal sebelumnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan diintroduksi ke dalam program pemberdayaan harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di petani. Untuk itu, inovasi yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna. Inovasi yang tepat guna harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan; harus memberi keuntungan secara konkrit bagi petani; harus mempunyai kompatibilitas/keselarasan; harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas; harus mendayagunakan sumberdaya yang sudah ada; harus terjangkau oleh kemampuan finansial petani; harus sederhana tidak rumit dan mudah dicoba; dan harus mudah untuk diamati.
2.        Memilih metode penyuluhan yang efektif.
Faktor lain yang mempengaruhi percepatan adopsi dan difusi inovasi adalah tepat tidaknya dalam menggunakan metode penyuluhan. Penggunaan metode yang efektif akan mempermudah untuk dipahami oleh petani.  Penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan di luar sekolah (informal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan  kesejahteraan keluarganya atau bila memungkinkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya.
Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1996) dan Adam (1988), terdapat tiga klasifikasi metode penyuluhan, yaitu metode penyuluhan media massa, metode penyuluhan kelompok, dan metode penyuluhan individu.
a.       Metode penyuluhan media massa. Metode ini ditujukan kepada khalayak petani umum tanpa adanya hubungan personal antara penyuluh dengan audiens (Adam, 1988). Beberapa teknik yang digunakan dalam metode ini antara lain melalui TV, radio, koran, pamflet, dan lain-lain.
b.      Metode penyuluhan kelompok. Metode ini ditujukan kepada kelompok tertentu dan memerlukan pertemuan tatap muka antara penyuluh dengan para petani (Adam, 1988). Beberapa teknik yang digunakan dalam metode ini antara lain ceramah, widyakarya, diskusi kelompok, pelatihan, demontrasi/peragaan teknologi.
c.       Metode penyuluhan individu. Metode ini ditujukan kepada individu-individu petani yang memperoleh perhatian secara khusus dari petugas penyuluh (Adam, 1988). Beberapa teknik yang digunakan dalam  metode ini antara lain konsultasi, diagnosis resep, dan partisipatif. Pada teknik konsultasi, petani memposisikan dirinya sebagai klien yang menyampaikan permasalahan dirinya kepada penyuluh/peneliti dengan tujuan untuk memperoleh solusi mengenai permasalahan yang dihadapi (teknik ini biasa terjadi pada klinik pertanian). Pada teknik diagnosis resep, penyuluh/peneliti mengambil inisiatif mengajukan pertanyaan yang mungkin petani tidak memahami kenapa hal tersebut ditanyakan. Selanjutnya penyuluh/peneliti mendiagnosis penyebab  masalah atas dasar jawaban petani dan memberikan resep sebagai pemecahan masalah. Pada teknik partisipasi, petani diminta secara aktif untuk memberikan  informasi faktual tentang masalah yang dihadapi, sedangkan peneliti/penyuluh  melengkapi informasi tersebut sesuai keahliannya.
3.        Pemberdayaan Petugas Penyuluh
Petugas penyuluhan mempunyai korelasi yang sangat kuat terhadap keberhasilan suatu program. Menurut Mundy (2000), kecepatan adopsi suatu inovasi tergantung pada beberapa hal, yaitu sifat inovasi, sifat adopter, dan perilaku pengantar perubahan (peneliti atau penyuluh). Menurut Bunch (2001), rancangan terbaik di dunia pun tidak akan menjadi program yang berhasil kalau petugasnya tidak berkemampuan dan kemauan untuk menjadikannya berhasil. Seringkali kompetensi dan motivasi petugas menjadi faktor pembatas efektifitas suatu program, dan yang paling sering menjadi masalah adalah kurangnya motivasi.
Motivasi merupakan ruh dari pemberdayaan, hal ini senada dengan yang disampaikan Wahyuni (2000) bahwa pemberdayaan (empowerment) berarti memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi yang ada untuk ditingkatkan kualitasnya. Setelah inovasi tepat guna diperoleh, metode penyuluhan yang efektif diketahui, selanjutnya adalah memilih agen penyuluhan yang baik.  Dengan kata lain, produk/inovasi yang akan disampaikan ke petani harus bermutu (good innovations), cara menyampaikan produk/inovasi ke petani harus bermutu (good extension method), dan orang yang menyampaikan harus bermutu (good extension agent). Akhirnya, dengan penerapan total qualitiy management dalam penyuluhan, diharapkan percepatan adopsi dan difusi inovasi akan berhasil.
Agen penyuluhan merupakan individu atau institusi yang mempunyai tugas pokok memberikan pendidikan informal kepada petani dan keluarganya tentang  segala sesuatu yang berkaitan dengan usahatani dengan maksud agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan keluarganya atau bila memungkinkan mampun meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekelilingnya.
4.        Kaderisasi Petani Penyuluh
Berdasarkan kecepatan mengadopsi inovasi, Rogers (1983) dalam Simamora (2003), membagi petani ke dalam lima golongan, yaitu inovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggard. Kelima golongan petani tersebut, masing-masing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Inovator, mempunyai ciri-ciri; aktif mencari inovasi, berani mengambil risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia muda, mobilitas sosial cukup tinggi,  memiliki pendapatan di atas rata-rata, perintis pemula dalam adopsi inovasi.
b.      Early adopter, mempunyai ciri-ciri; merupakan opinion leader, berani mengambil risiko, berpendidikan cukup baik, relatif berusia muda, mobilitas sosial cukup tinggi, memiliki pendapatan di atas rata-rata, suka mempraktikkan inovasi yang baru dikenalkan, merupakan golongan pembaharu.
c.       Early majority, mempunyai ciri-ciri; hati-hati dalam mengambil keputusan, mobilitas sosial kurang, berpendidikan rata-rata, usia relatif muda, akan mengadopsi setelah melihat bukti dari orang lain.
d.      Late Majority, mempunyai ciri-ciri; skeptis terhadap inovasi, usia relatif lebih tua, status sosial relatif rendah, mobilitas sosial rendah, mengadopsi lebih disebabkan perasaan segan, bukan karena penilaian positif terhadap inovasi.
e.       Laggard, mempunyai ciri-ciri; berorientasi lokal, berfikiran dogmatis, berorientasi pada masa lalu, dibutuhkan waktu lama untuk meyakinkan mereka agar mengadopsi inovasi, atau bahkan akan menolak selamanya.
5.        Penguatan Kelembagaan Petani
Menurut Kedi Suradisastra (2008), langkah-langkah pemberdayaan kelembagaan petani sebagai suatu upaya perubahan sosial diawali dengan tahap diagnostik. Dalam fase ini dilakukan diagnosa atau analisis situasi lintas-sektor, lintas disiplin, dan lintas aspek elemen-elemen perubahan sosial di suatu wilayah pembangunan. Dalam tahap ini kelompok perekayasa model pemberdayaan (ilmuwan dari berbagai disiplin keilmuan) merupakan aktor utama dalam proses identifikasi dan diagnosa masalah lapangan. Dalam fase ini, lembaga riset dan perguruan tinggi diposisikan sebagai think-tank dan lembaga pembinaan (penyuluhan) sedangkan lembaga perancangan pembangunan daerah berperan sebagai pemberi input.
Tahap diagnostik dilanjutkan dengan tahap rancang bangun dimana peran lembaga pembinaan dan penyuluhan meningkat secara proporsional. Lembaga perancangan pembangunan secara politis mulai berperan dalam kegiatan koordinasi dan administratif kewilayahan. Petugas dan penyuluh lapang sebagai ujung tombak pemberdayaan memegang posisi kunci dalam menghimpun, merangkum menyaring dan menganalisis situasi sosio teknis petani setempat. Dalam saat yang sama,  lembaga-lembaga sektor merancang model dan kegiatan pemberdayaan di lokasi- lokasi percontohan. Dalam tahap ini terjadi proses penyempurnaan rancangan model pemberdayaan dengan input dari seluruh stakeholder. Fase ini juga memberikan kesempatan untuk menggali lebih dalam peluang pemanfaatan entry-point dalam memperlancar proses pemberdayaan kelembagaan baru.
Dalam tahap uji coba dilakukan evaluasi dinamika komponen pemberdayaan kelembagaan yang disesuaikan dengan kondisi sosial petani sekaligus dilakukan pula pemantauan proses perubahan sosial sebagai resultan interaksi introduksi model pemberdayaan dengan kondisi sosial masyarakat setempat. Tahap uji coba juga merupakan fase dimana strategi pemberdayaan kelembagaan dipilih dan disepakati. Entry-point strategi introduksi model pemberdayaan dikaji dan disepakati dalam fase ini setelah hasilnya dianalisis secara lintas keilmuan. Dalam fase ini dilakukan sosialisasi rancangan strategis penyebaran model pemberdayaan baru kepada lembaga dan  aparat terkait program pembangunan setempat, termasuk pejabat struktural dan kelompok penyusun kebijakan daerah otonom. Hasil uji coba juga merupakan dasar untuk menyusun rekomendasi oleh lembaga teknis daerah dan rekomendasi politis oleh kepala daerah. Tahap berikutnya adalah mengidentifikasi dan mengembangkan strategi implementasi model pemberdayaan sesuai dengan karakteristik sosial kelembagaan masyarakat. Fase verifikasi dan implementasi merupakan tahap terahir dimana lembaga pembinaan masyarakat beserta aparatnya memikul tanggung jawab terbesar dalam sosialisasi dan penerapan model pemberdayaan dan norma sosial yang baru.
Setiap upaya dan tahap perekayasaan kelembagaan senantiasa dihadapkan pada  pilihan paradigma penerapan yang bersifat evolutif atau revolutif. Paradigma evolusi dicerminkan dalam proses yang lambat dan teratur dengan sesedikit mungkin korbanan yang diberikan kelembagaan sebagai suatu sistemyang memiliki tatanan dan hierarki strtuktural. Pendekatan evolutif disesuaikan dengan proses evolusi sosial secara alami dimana perubahan dan penerapan model pemberdayaan dilakukan secara bertahap tanpa melakukan perubahan drastis terhadap pola kegiatan yang tengah berlangsung. Strategi ini memakan waktu relatif lama dan proses adopsi terjadi secara bertahap karena kelompok stakeholder memiliki cukup waktu untuk memahami, mengevaluasi, dan melakukan eksperimentasi penerapan teknik pemberdayaan secara gradual.
Paradigma revolusi dalam proses perubahan sosial kelembagaan dimanifestasikan dalam bentuk pendekatan dan proses secara cepat. Model dan strategi pemberdayaan yang tengah berjalan digantikan secara total dengan model dan struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Pada umumnya paradigma ini dapat disejajarkan dengan pola pendekatan top-down dengan parameter pemberdayaan subyektif.
Kedua paradigma di atas selalu terdapat dalam setiap langkah pemberdayaan dalam proporsi yang sejalan dengan kondisi dan status pemberdayaan kelembagaan yang bersangkutan. Berkaitan dengan kondisi ini, Suradisastra (1999) mengemukakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi katalis atau fasilitator pemberdayaan kelembagaan petani. Para katalis ini kemudian bekerja secara sitematis dan melakukan langkah-langkah identifikasi situasi sebagai berikut: (a) Memulai kegiatan pengenalan kelembagaan dalam kelompok kecil. Upaya ini membuka kemungkinan bagi anggota kelompok atau organisasi untuk memahami sifat permasalahan kelembagaan dan teknik untuk mengantisipasinya; (b) Memulai kegiatan secara informal. Perekayasa kelembagaan dan para katalis berperan sebagai fasilitator; (c) Memecahkan masalah bersama (problem-solving oriented). Dalam arahan ini  peran katalis adalah menanamkan sikap bahwa membuat kesalahan dalam proses pengambilan keputusan bukanlah sesuatu yang memalukan dan patut ditekankan bahwa hal tersebut dapat diperbaiki; dan (d) Memperkuat hubungan horisontal. Hubungan horisontal antaranggota kelembagaan yang akan dievolusikan ditujukan untuk melakukan proses difusi informasi. Hubungan ini memungkinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi secara lebih luwes dan terbuka.
Evolusi kelembagaan dari tahap non formal dan non struktur ke tingkat formal terstruktur dilakukan setelah langkah-langkah di atas berjalan lancar dan pola komunikasi telah terbentuk. Namun pada era reformasi yang menggebu-gebu akhir-akhir ini suara perombakan pendekatan dari atas ke bawah (top down) ke pola pendekatan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up) semakin lantang. Kedua pola pendekatan ini pada hakekatnya memiliki penyimpangan dalam   pemahaman dan penerapannya. Pola pendekatan top-down menganut paham bahwa perencana,  teknokrat dan pakar memiliki seluruh pengetahuan dan informasi, kearifan dan moral yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan. Masyarakat hendaknya berterima kasih karena mereka merupakan kelompok yang akan menikmati hasil pembangunan tersebut. Penyimpangan pemahaman pendekatan bottom-up percaya bahwa masyarakat memiliki semua materi yang dibutuhkan untuk pembangunan yang mereka inginkan tanpa campur tangan para birokrat dan teknokrat.
Pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat hendaknya diikutsertakan dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan bantuan dan tuntunan pelaksana kebijaksanaan. Dalam kondisi ini harapan dan energi sosial berpadu dengan bimbingan untuk mencapai tujuan. Sikap ini menempatkan masyarakat sebagai mitra pembangunan dan bukan semata-mata sebagai  “penikmat hasil pembangunan”. Upaya pemberdayaan ekonomi kerakyatan hendaknya menganut pola kombinasi pendekatan populis bottom-up dan pendekatan paternalistik top-down dalam konteks tertentu.
Sumberdaya yang tersedia di masyarakat petani, baik sumberdaya finansial maupun sumberdaya nonfinansial dapat dimanfaat kan secara lokal dan disesuaikan dengan kebutuhan setempat (locally and finely tuned). Hal ini dimungkinkan karena kebutuhan pembangunan dapat diprioritaskan sesuai  dengan kebutuhan riil. Masyarakat yang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya akan lebih responsif untuk turut memikul tanggung jawab pengelolaan pelaksanaan kegiatan. Hal ini akan membantu mengurangi biaya yang disediakan pihak pemerintah. Disamping itu pengetahuan dan keterampilan lokal (indigenous technical know-how) mampu diadaptasikan untuk membantu penghematan biaya dan peningkatan keuntungan.
Pemikiran di atas secara eksplisit menggambarkan keikutsertaan masyarakat sebagai mitra pembangunan, dan bukan lagi sebagai kelompok sasaran. Dalam keadaan ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, terutama dalam bentuk partisipasi yang bersifat mobilisasi spontan yang diartikan secara positif. Partisipasi merupakan unsur perekat dimana masyarakat merupakan faktor sentral dalam proses pembangunan. Partisipasi menempatkan masyarakat sekaligus sebagai mitra pembangunan, pemegang risiko (stakeholders) serta pembuat dan pengambil keputusan yang menyangkut masa depan mereka.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Setiap upaya dan strategi pemberdayaan kelembagaan petani memiliki keterkaitan kuat dengan kondisi sosial ekonomi petani. Pencapaian suatu program pemberdayaan merupakan hasil interaksi elemen-elemen pemberdayaan sebagai strategi pemberdayaan yang diterapkan. Upaya dan strategi pemberdayaan merupakan suatu pendulum antara paradigma evolusi dan paradigma revolusi, namun tidak berarti bahwa setiap paradigma akan muncul secara mutlak. Kedua paradigma tersebut merupakan suatu gradasi dengan proporsi yang sesuai dengan kebutuhan kelembagaan petani. Pengembangan model pemberdayaan akan selalu berada di antara kedua paradigma tersebut dengan proporsi yang sejalan dengan tuntutan kebutuhan petani.
Implikasi kebijakan pembahasan fungsi dan peran kelembagaan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan kelembagaan petani dan pertanian adalah bahwa kebijakan pemberdayaan kelembagaan petani dan pertanian hendaknya mencakup seluruh elemen sosial ekonomi yang terdapat dalam setiap kelompok masyarakat atau etnis yang berbeda. Konsekuensinya penerapan kebijakan pemberdayaan memerlukan strategi pendekatan yang mampu memfasilitasi aspirasi sosial budaya dan aspirasi teknis petani dan kelembagaan petani serta lembaga pembangunan pertanian setempat. Penerapan paradigma evolusi dan revolusi hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi stakeholder pembangunan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas Zakaria, Wan. 2008. Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani Kunci Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.

Christenson, James A. and Jerry W. Robinson, Jr. 1989. Community Development in Perpective. Iowa State University Press/Ames. United State of America.

Fahrudin, Adi (Editor). Pemberdayaan Partisipasi dan Penguatan Kapasitas Masyarakat. Humaniora. Bandung.

Fahrudin, Adi. Pengembangan Masyarakat Berteraskan Partisipasi Masyarakat. adifahrudin.files.wordpress.com/.../pengembangan-masyarakat-dan-...

Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Power dan Empowerment: Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat. www.ginandjar.com.

Moehar Daniel, Nieldalina dan Vivi Aryati. 2006. Analisis Strategi Pemberdayaan Petani dalam Primatani Lahan Sawah Irigasi Siparepare. BPTP Sumatera Utara. ntb.litbang.deptan.go.id/ind/2006/SP/analisisstrategis.doc

Musyafak, Akhmad dan Tatang M. Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 3 No.1. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.

Purbathin Hadi, Agus. Konsep Pemberdayaan, Partisipasi, dan Kelembagaan dalam Pembangunan. Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA). http://suniscome.50webs.com/...

Sadono, Dwi. 2008. Pemberdayaan Petani: Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian Di Indonesia. Jurnal Penyuluhan Maret 2008, Vol. 4 No. 1. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sesbany. Penguatan Kelembagaan Petani untuk Meningkatkan Posisi Tawar Petani. www.info.stppmedan.ac.id/pdf/jurnalsesbany1.pdf.

Suradisastra, Kedi. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 26 No. 2. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto