Kisah Anak Manusia di Jalan Raya

8 Jan 2013




Salah satu cara untuk meneropong mental dan karakter seseorang adalah dengan mengamati tingkah polah mereka ketika mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya. Setiap hari, kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, dipadati kendaraan bermotor roda dua dan roda empat atau lebih. Mereka harus berbagi di lajur jalan yang terbatas, lantaran peningkatan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan peningkatan panjang jalan yang dibangun pemerintah. Al hasil, di setiap sudut jalan ibukota, terutama pada pagi dan sore hari, terjadi kemacetan yang parah. Namun, warga Jakarta dan sekitarnya sudah terbiasa menghadapi kemacetan, karena setiap hari mereka berangkat dan pulang kerja hampir pasti melewati jalan yang sama.
Di samping jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas ruas jalan, ketaatan dan ketertiban para pengguna jalan juga menjadi salah satu penyebab kemacetan lalu lintas. Para pengendara sepeda motor saling serobot di sela-sela kendaraan roda empat atau lebih. Bahkan ada pengendara motor yang nekat naik ke trotoar, sehingga mengganggu para pejalan kaki. Para supir taksi dan supir bus saling berkejaran, lantaran mereka dikejar setoran. Para pengendara mobil pribadi berusaha ingin segera tiba di tempat kerja masing-masing. Begitulah kesibukan sehari-hari lalu-lintas di Jakarta. Kalau kondisi tersebut tidak “dinikmati”, maka yang muncul adalah penyakit stres, tekanan darah tinggi, pemarah, dan sikap intoleransi. Oleh karena itu, seyogiyanya setiap pengguna jalan di kota-kota besar bisa memanfaatkan kemacetan untuk melatih kesabaran dan toleransi.
Mat Bulbit adalah salah seorang pengguna jalan yang setiap hari melintasi jalan-jalan raya di Jakarta dan sekitarnya. Baginya, fenomena kemacetan merupakan menu sehari-hari. Ke mana-mana, ia mengemudikan mobilnya sendiri. Tanpa supir pribadi. Padahal, kantor tempatnya bekerja beberapa kali menawarkan supir pribadi kepadanya sebagaimana teman-teman sejawat Mat Bulbit. Tapi ia menolak, dengan alasan Mat Bulbit tidak mau ribut dengan supir pribadi yang ujungnya bisa berakhir pada pemecatan sang supir, seperti yang pernah terjadi pada beberapa teman sejawatnya.
Ketidakcocokan antara supir pribadi dengan majikan seringkali terjadi. Salah satu faktornya adalah ketidakcocokan gaya (style) sang supir ketika mengemudikan mobil dengan keinginan majikan. Ada majikan yang enjoy saja menghadapi kemacetan di jalan raya, sehingga tidak suka dengan gaya supir yang ugal-ugalan. Sebaliknya ada majikan yang selalu ingin cepat sampai ke tempat tujuan, sehingga meminta supir pribadinya untuk melakukat zig-zag di jalan. Nah, kalau gaya sang supir tidak cocok dengan keinginan majikan, sangat mungkin sang majikan marah-marah kepada supirnya. Kalau sang supir tidak terima dengan makian sang majikan, maka yang terjadi adalah percekcokan yang pasti berujung pada pemecatan sang supir. Kondisi inilah yang tidak diharapkan Mat Bulbit. Makanya, ia lebih memilih mengendarai mobilnya sendiri.
Suatu hari di bulan Oktober 2012, Mat Bulbit mengendarai mobil ke Bandara Soekarno-Hatta untuk sebuah tugas ke luar kota. Kondisi lalu lintas pada waktu itu cukup lancar, sehingga ia dapat berkendaraan dengan santai. Kira-kira tiga kilometer menjelang masuk ke terminal bandara, tiba-tiba mobil yang berada di depan Mat Bulbit mengerem secara mendadak. Mat Bulbit tersentak dan langsung menginjak pedal rem sekuat tenaga. Namun naas, hidung mobil Mat Bulbit mencium bemper mobil yang berada di depannya. Tidak terlalu keras, hanya menyisakan bercak putih di bagian belakang mobil yang ditabraknya, yang berasal dari plat nomor mobil Mat Bulbit.
Si pengendara mobil turun dan langsung menghampiri Mat Bulbit. “Saya minta SIM!” ketus orang tersebut. “Untuk apa?” tanya Mat Bulbit. “Kita selesaikan di sini saja,” lanjut Mat Bulbit sambil mengajak orang tersebut menepikan kendaraannya agar tidak mengganggu pengguna jalan yang lain.
“Nggak! Saya minta SIM anda,” paksa orang itu. “Saya sedang terburu-buru mengantar tamu ke bandara,” lanjutnya.
“Saya juga mau ke bandara. Kalau begitu kita sama-sama ke bandara dan kita selesaikan di sana,” ajak Mat Bulbit santai.
“Saya minta SIM anda!” seru orang tersebut ngotot. “Oke, bagaimana kalau kita ke pinggir saja dulu sebentar. Saya akan bertanggung jawab,” urai Mat Bulbit meyakinkan orang itu.
“Tidak! Saya harus meminta SIM anda, supaya anda tidak kabur,” ucap orang itu ketus.
Sambil geleng-geleng kepala, Mat Bulbit akhirnya mengeluarkan dompet dan menyerahkan SIM-nya kepada orang tersebut. “Mari kita ke pinggir sekarang dan kita selesaikan masalah kita,” ajak Mat Bulbit. Setelah mengambil SIM Mat Bulbit, orang itu berkata, “Nanti kita ketemu di bandara saja,” katanya sambil masuk ke mobil dan tancap gas ke arah bandara.
Mat Bulbit menghela nafas panjang. SIM-nya dibawa kabur oleh pengemudi mobil yang ia tabrak. Sementara dia belum sempat mencatat nomor polisi mobil yang dikemudikan orang yang telah membawa kabur SIM-nya. Kepala Mat Bulbit dipenuhi tanda tanya besar. Untuk apa orang itu mengambil SIM-nya? Bukankah bagi orang itu tidak ada manfaatnya? Dan bila kejadiannya seperti itu, bukankah orang itu tidak mendapat ganti rugi dari Mat Bulbit? Padahal ia mau bertanggung jawab atas insiden yang baru saja terjadi.
Memang orang jujur dan orang jahat tidak memiliki tanda di kening atau di wajahnya, sehingga sulit bagi kita untuk memutuskan apakah seseorang yang baru dikenal itu jujur atau jahat. Seandainya orang baik dan orang jahat punya tanda yang dapat dilihat, maka dengan mudah kita dapat memilih para pemimpin dalam setiap pemilu dan pemilukada. Kondisinya akan semakin bertambah sulit manakala orang-orang yang diharapkan dapat menunjukkan rekam jejak calon-calon pemimpin yang akan dipilih, justru berlaku tidak jujur dan memutarbalikkan fakta dan data. Orang baik dicap buruk, sebaliknya orang buruk diberi label baik. Akhirnya, masyarakat menjadi bingung dan memilih bersikap fragmatis.
Bahkan dalam banyak kasus, orang-orang yang berniat jahat selalu menampilkan perilaku sopan dan berkata-kata manis di hadapan calon korbannya. Dalam kasus di atas, pengemudi yang mobilnya ditabrak Mat Bulbit tidak percaya kalau Mat Bulbit mau bertanggung jawab. Meski Mat Bulbit telah berkali-kali meyakinkan orang tersebut bahwa dirinya akan bertanggung jawab. Sebaliknya, Mat Bulbit memahami ketidakpercayaan orang tersebut terhadapnya, sehingga ia mau memberikan SIM-nya. Mat Bulbit berpikir, tidak mungkin orang itu membawa lari SIM-nya, karena bagi orang tersebut SIM Mat Bulbit tidak ada manfaatnya. Melihat kenyataan SIM-nya dibawa kabur, Mat Bulbit hanya berharap bahwa suatu waktu orang itu akan terbuka hatinya, lalu mengembalikan SIM itu kepadanya.
Beberapa hari kemudian, Mat Bulbit menceritakan kejadian tersebut kepada beberapa temannya di kantor. Dari merekalah Mat Bulbit menemukan jawabannya. Menurut mereka, modus dengan cara mengambil SIM dalam sebuah kecelakan lalu-lintas seperti yang dialami Mat Bulbit sudah menjadi kebiasaan di kalangan para supir di jalanan. Meski mereka tidak mendapat ganti rugi, toh mobil mereka sudah diasuransikan, sehingga tidak ada masalah dengan kerusakan. Apalagi mobil yang ditabrak Mat Bulbit cuma menyisakan cat putih yang berasal dari plat nomor mobilnya.
Lalu untuk apa orang itu mengambil SIM Mat Bulbit? Kata mereka, memang SIM itu tidak ada manfaatnya buat dia, tapi orang itu cukup puas lantaran sudah membuat susah Mat Bulbit. ‘Hmm....jadi di Republik ini, ada orang yang merasa puas kalau berhasil membuat orang lain susah,’ ucap Mat Bulbit dalam hati.
*****
Hari Sabtu, sehari setelah Hari Raya Idul Adha 1433 Hijriyah yang lalu, Mat Bulbit dan istrinya mengunjungi orangtuanya di Pandeglang, Banten, sambil mengecek pelaksanaan pemotongan hewan qurban yang dikirim dari Jakarta melalui orang kepercayaannya di Pandeglang. Sudah lima tahun belakangan, Mat Bulbit melakukan pemotongan hewan qurban di desa orangtuanya. Menurutnya, daging qurban akan lebih bermanfaat bila dibagikan kepada mereka yang hidup dalam kekurangan.
Usai bersilaturrahim, Mat Bulbit dan istrinya kembali ke Jakarta. Sejak memasuki jalan raya Pandeglang-Jakarta, sebuah mobil sedan Suzuki Aerio bernomor polisi B 1808 NVC berusaha mendahului mobil Mat Bulbit. Namun, karena ramainya kendaraan yang melintas, mobil yang dikendarai empat anak muda itu belum berhasil mendahului mobil Mat Bulbit. Menjelang Pasar Cadasari, semua kendaraan memperlambat lajunya, karena banyak orang yang lalu-lalang di sekitar pasar yang letaknya persis di pinggir jalan raya. Ada yang berjalan kaki, ada yang menggunakan sepeda, dan banyak pula yang menggunakan sepeda motor. Tepat di depan Mat Bulbit, seorang ibu pengendara sepeda motor hendak menyeberang. Mat Bulbit menghentikan mobilnya memberi kesempatan ibu itu untuk melintas. Tiba-tiba mobil Mat Bulbit ditabrak oleh mobil Suzuki Aerio yang sejak tadi ingin mendahuluinya. Tampaknya tabrakannya cukup keras. Hal itu dapat dilihat dari rusaknya bagian depan mobil si penabrak. Sedangkan bagian belakang mobil Mat Bulbit penyok ke bagian dalam.
Mat Bulbit hendak turun dari mobil untuk meminta pertanggungjawaban si penabrak. Namun, panjangnya barisan kendaraan di belakang, menyebabkan Mat Bulbit tidak enak hati bila peristiwa itu sampai mengganggu perjalanan pengendara lain yang tidak punya sangkut paut dengan kejadian yang baru saja menimpanya.
Mat Bulbit, lalu meminta si penabrak meminggirkan mobilnya supaya. Dan bersamaan dengan itu, ia memindahkan mobilnya ke pinggir jalan. Namun, baru saja satu putaran roda mobilnya bergerak ke pinggir jalan, tiba-tiba mobil si penabrak langsung melesat melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Merasa dicurangi, Mat Bulbit berusaha mengejar si penabrak. Rupanya si penabrak yang pengecut itu sudah bulat untuk kabur. Dengan nekatnya dia terabas jalur kanan untuk melarikan diri. Beberapa pengendara sepeda motor meneriakinya lantaran hampir saja membahayakan mereka. Akhirnya Mat Bulbit membiarkan orang itu melarikan diri. Tarikan nafas panjang disertai ucapan istighfar keluar dari mulut Mat Bulbit. Ia tidak percaya bahwa ternyata ada orang yang bermental pengecut seperti itu. Mental seperti itulah yang mungkin menyebabkan bangsa ini sulit keluar dari keterpurukan.

*****
Sabtu pagi di bulan November 2012, Mat Bulbit berangkat ke Bogor untuk suatu keperluan di Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang. Sepanjang jalan tol menuju Bogor hujan turun, tapi tidak terlalu deras. Namun demikian, semua pengendara harus hati-hati karena jalan licin. Beberapa kendaraan menyalakan lampu agar mobil yang ada di depan dan belakangnya dapat terlihat lebih jelas.
Sebuah mobil minibus berjalan santai di lajur paling kanan. Di belakangnya adalah mobil Mat Bulbit. Mobil tersebut berjalan lambat. Mestinya mobil itu berjalan di lajur kiri atau tengah, sehingga tidak menghalangi laju kendaraan yang akan mendahuluinya. Mat Bulbit menyalakan lampu dim beberapa kali sebagai tanda akan mendahului. Namun, mobil tersebut tetap di lajur kanan. Karena tidak diberi kesempatan untuk mendahului dari sebelah kanan, akhirnya Mat Bulbit mangambil lajur tengah untuk mendahului mobil tersebut. Ketika sudah berhasil mendahului, tiba-tiba mobil tersebut menyalakan lampu dim berkali-kali, seolah-olah dia tidak rela mobilnya didahului Mat Bulbit. Dan benar, mobil itu lalu mengejar Mat Bulbit dan menyalip dari sebelah kiri dengan kasar. Setelah itu, si pengendara memperlambat laju mobilnya dan dengan sengaja menghalang-halangi mobil Mat Bulbit hingga memasuki arah Bogor. Si pengedara mobil terus melaju ke arah Ciawi, sedangkan Mat Bulbit menuju Bogor. Sepanjang jalan menuju pintu tol Bogor, pikiran Mat Bulbit dipenuhi tanda tanya. Mengapa si pengendara mobil begitu marahnya kepada Mat Bulbit? Padahal berdasarkan etika di jalan raya, orang itulah yang salah lantaran mengendarai mobil dengan lambat di lajur cepat. Hingga saat ini, Mat Bulbit belum menemukan jawabannya.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto