Umar Bin Abdul Aziz, Kesalehan dan Kebijakan Politiknya Rahmat bagi Semesta Alam

27 Mei 2013


(Bagian 1 dari Dua Tulisan)

Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah Saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz.” Zaid menambahkan, ”Dia sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan duduk” (Zaid bin Aslam dari Anas).

Umar bin Abdul Aziz bin Marwan dikenal dengan panggilan Abu Hafsh lahir di Hulwan, sebuah desa di Mesir pada tahun 61 H. Ibunya, Ummu ‘Ashim adalah putri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab dilahirkan tidak lebih dari 50 tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw. dimana saat itu para sahabat dan tabi’in masih memiliki ikatan batin dan kehidupan yang amat akrab dengan Rasul. Jadi, Umar bin Abdul Aziz adalah cucu Umar bin Khaththab dari garis keturunna (nasab) ibunya. Ayahandanya, Abdul Aziz bin Marwan, pernah menjadi gubernur di daerah itu.
Dengan demikian, Umar bin Abdul Aziz dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan istana dan tumbuh dalam buaian kemewahan. Ia dan keluarganya memiliki kekayaan melimpah – sebagaimana umunya keluarga raja-raja Dinasti Umayyah – yang diperoleh sebagai tunjangan raja kepada keluarga dekatnya. Disebutkan, dari perkebunannya saja, Umar memiliki penghasilan 50.000 asyrafi (dinar) per tahun. Tentu saja, saat itu ia hidup secara mewah sebagaimana lazimnya kaum bangsawan, dengan pakaian, rumah, kendaraan, dan perlengkapan yang hanya mungkin dimiliki oleh para pangeran. Maka wajar, bila pada masa remajanya dia suka berfoya-foya.
Meski demikian, orangtuanya tak pernah melupakan akan pentingnya pendidikan agama. Maka sejak kecil Umar sudah biasa menghafal Al-Qur`an. Kemudian ayahandanya mengirimnya ke Madinah untuk belajar berbagai ilmu agama. Umar banyak berguru kepada Ubaidillah bin Abdullah. Dengan bekal ilmu itulah Umar semakin bijak menyikapi berbagai persoalan di masyarakat, terutama yang berkenaan dengan prinsip dasar peradaban Islam di masa Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Umar pun memiliki pandangan lain tentang sistem kekhalifahan yang diwariskan secara turun temurun.
Umar bin Abdul Aziz kini dikenal sebagai orang yang sangat saleh. Gaya hidup suka berfoya-foya langsung ditinggalkannya dan menggantinya dengan akhlak Islami. Ketika ayahandanya meninggal, Abdul Malik bin Marwan, yang pada saat itu menjabat sebagai Khalifah, memintanya untuk datang ke Damaskus untuk dinikahkan dengan anaknya yang bernama Fathimah.
Isyarat bahwa Umar bin Abdul Aziz akan menjadi ”orang besar” sudah ada ketika ayahandanya melihat bekas luka di bagian wajah Umar akibat tendangan seekor binatang. Peristiwa itu terjadi ketika beliau masih kanak-kanak. Ketika ayahnya menghapus darah yang mengalir di wajahnya, ayahnya berkata, “Jika kamu adalah orang yang terluka dibagian wajah dari kalangan Umayyah, maka engkau akan menjadi orang yang bahagia” (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir).
Pernyataan ayahanda Umar ini merujuk kepada pernyataan Umar bin Khaththab, ”Akan ada dari keturunanku seorang anak yang di wajahnya ada bekas luka. Dia akan memenuhi dunia dengan keadilan” (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Tarikhnya). Prediksi Umar bin Khaththab diperkuat oleh pernyataan Ibnu Umar, “Kami pernah berbicara bahwa dunia ini tidak akan runtuh sebelum ada seorang laki-laki yang memimpin dari kalangan keluarga Umar bin Khaththab yang berbuat sebagaimana Umar berbuat.” Pada awalnya orang-orang mengira bahwa yang dimaksud oleh Ibnu Umar itu adalah Bilal bin Abdullah bin Umar, karena dia memiliki tahi lalat di wajahnya. Hingga akhirnya Allah Swt. mendatangkan Umar bin Abdul Aziz.
Al-Walid bin Muslim juga menceritakan perihal isyarat itu. Menurutnya, seseorang yang berasal dari daerah Khurasan berkata, ”Dalam mimpi saya melihat seseorang datang kepada saya dan berkata, ’Jika orang yang di wajahnya ada luka dari kalangan Bani Marwan telah berkuasa, maka pergilan kamu dan baiatlah dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang pemimpin yang adil.”
Ketika Al-Walid bin Abdul Malik menjadi Khalifah menggantikan Abdul Malik (ayahnya), Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi gubernur Madinah dari tahun 86 H – 93 H. Namun, pada tahun 93 H dia diberhentikan oleh Al-Walid lantaran kebijakan Umar tidak sejalan dengan kebijakan Al-Walid yang menjurus kepada penyimpangan. Umar pun lalu kembali ke Damaskus.

Al-Walid juga berusaha keras mencopot kedudukan saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik, dari posisinya sebagai Putra Mahkota yang kelak akan menggantikannya. Ia menginginkan agar yang menjadi Putra Mahkota adalah anaknya sendiri. Para pembesar dan pejabat negara yang ada pada waktu itu menyetujui langkah Al-Walid, baik secara suka rela maupun terpaksa. Namun, Umar bin Abdul Aziz menolak mentah-mentah keinginan Al-Walid itu dengan berkata, ”Di leher kami ada bai’at.” Pernyataan Umar itu diulang-ulang di berbagai forum dan kesempatan hingga akhirnya Al-Walid memenjarakannya dalam sebuah ruang yang sempit dengan jendela tertutup, dengan harapan Umar akan mati karena kelaparan dan sesak nafas.
Setelah tiga hari dikurung, akhirnya Al-Walid membebaskannya. Kondisi Umar ketika dibebaskan sangat memprihatikan. Lehernya agak miring. Mengetahui kondisi itu, Sulaiman bin Abdul Malik berkata, ”Dia (Umar) adalah pengganti setelah saya.”

Kesalehan Umar bin Abdul Aziz
Kesalehan Umar sudah dikenal ketika beliau menjadi gubernur Madinah. Zaid bin Aslam meriwayatkan dari Anas, ”Saya tidak pernah melakukan shalat di belakang seorang imam pun yang hampir sama shalatnya dengan shalat Rasulullah Saw. daripada anak muda ini, yaitu Umar bin Abdul Aziz.” Zaid menambahkan, ”Dia sempurna dalam melakukan ruku’ dan sujud, serta meringankan saat berdiri dan duduk.”
Kesalehan Umar makin bertambah ketika beliau menjadi Khalifah. Bahkan Umar bukan hanya dikenal sebagai seorang ahli ibadah, tetapi dia memiliki pemahaman yang mendalam dan rinci (al-fahmu ad-daqiq) dalam masalah-masalah keagamaan. Sehingga beliau dijadikan rujukan dalam berbagai masalah oleh banyak orang. Sampai-sampai Maimun bin Mahran berkata, ”Para ulama di hadapan Umar bin Abdul Aziz adalah murid-muridnya.”
Proses taqarrub ilallah yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz, membuat beliau diberikan berbagai keistimewaan (karamah) oleh Allah Swt. Abu Nu’aim meriwayatkan dari Rayyah bin Ubaidah, dia berkata, ”Umar bin Abdul Aziz keluar dari rumahnya untuk menunaikan shalat. Saya melihat ada seseorang yang sangat tua bersandar ke tangan Umar. Saya berkata dalam hati, sesungguhnya orangtua itu berhati gersang. Usai shalat, saya bertanya kepada Umar, ”Wahai Amirul Mukminin, semoga Allah memberkati anda. Siapa gerangan kakek tua yang bersandar di tangan anda?”
Umar balik bertanya, ”Apakah anda (Rayyah) melihatnya?”
Rayyah bin Ubaidah menjawab, ”Benar, saya melihatnya.”
Umar berkata, ”Tidak salah dugaanku, engkau seorang laki-laki saleh. Ketahuilah, kakek tua itu adalah Nabi Khidir, saudaraku. Dia datang untuk memberitahu bahwa saya akan memimpin umat ini dan akan berlaku adil terhadap mereka.”
Maimun bin Mahran juga meriwayatkan dari Abu Hasyim bahwa seorang laki-laki menemui Umar bin Abdul Aziz dan berkata, ”Saya bermimpi melihat Rasulullah Saw. dalam tidurku. Dalam mimpi itu, aku melihat Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. ada disamping kanan Rasulullah, sedangkan Umar bin Khaththab Ra. disamping kirinya. Tiba-tiba kedua orang itu berselisih pendapat, sedangkan engkau (Umar bin Abdul Aziz) duduk di depan Rasulullah. Rasulullah Saw. berkata kepadamu, ’Wahai Umar, jika nanti kamu menjadi penguasa, maka berbuatlah sebagaimana kedua orang ini (Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab) berbuat.”
Untuk meyakinkan kebenaran mimpi itu, Umar meminta orang itu untuk bersumpah dengan nama Allah. Orang itu kemudian bersumpah atas nama Allah. Maka Umar pun menangis.
Sebagaimana sifat para nabi dan salafush shalih, Umar bin Abdul Aziz amat benci pada perbuatan dusta, karena dusta selalu akan mendatangkan bencana bagi pelakunya dan umat manusia. Ibrahim as-Sakuni menceritakan bahwa Umar pernah berkata, ”Aku tak pernah berdusta sejak aku tahu bahwa dusta itu akan mendatangkan bencana bagi pelakunya.”
Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat takut kepada Allah Swt. Istrinya bercerita, bahwa jika Umar masuk rumah, maka dia aka berbaring di tempat shalat sunnahnya. Dia terus menangis hingga akhirnya tertidur. Al-Walid bin Abi as-Saib berkata, ”Saya tidak pernah melihat orang yang lebih takut kepda Allah daripada Umar bin Abdul Aziz.”

Menjadi Khalifah
Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai Khalifah berdasarkan surat wasiat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik pada tahun 99 H. Waktu itu Umar bin Abdul Aziz baru berumur 37 tahun. Dia menjabat Khalifah selama dua tahun lima bulan sebagaimana masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Di masa pemerintahannya, Umar telah memenuhi dunia dengan keadilan, mengembalikan semua harta yang diambil secara tidak halal pada masa kekhalifahan sebelumnya. Beliau menghapus tradisi jahiliyah dan membangun tradisi Islam.
Umar bin Abdul Aziz tidak mau menduduki kursi kekuasaan sebelum menanggalkan sikap kesewenang-wenangan si kuat terhadap si lemah dan membatalkan tradisi jahiliyah yang selama ini dianut oleh keluarganya yang diwarisi oleh para pemimpin sebelumnya yang berlaku zalim kepada rakyatnya. Ia telah mengubah tradisi buruk itu dan menggantinya dengan perilaku mulia yang seharusnya ditempuh oleh seorang Amirul Mukminin.
Ketika dirinya dinyatakan sebagai pengganti Sulaiman bin Abdul Malik, Umar terkulai lemas dan berkata, ”Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah memohon perkara ini kepada Allah satu kali pun.”
Hal itu dinyatakannya di hadapan rakyatnya sesaat setelah ia dibaiat, ”Saudara-saudara sekalian, saat ini saya batalkan pembaiatan yang saudara-saudara berikan kepada saya, dan pilihlah sendiri Khalifah yang kalian inginkan selain saya.” Hal itu dilakukan lantaran Umar tidak mau memangku jabatan sebelum ada kerelaan dari umat atas penunjukan dirinya sebagai Khalifah. Namun, rakyat tetap pada keputusannya, yaitu membaiat Umar bin Abdul Aziz.
Dikisahkan oleh Umar bin Muhajir, sesaat setelah Umar bin Abdul Aziz dibaiat menjadi Khalifah, ia berdiri di hadapan khayalak, lalu memuji Allah dan berkata, ”Wahai hadirin sekalian, sesungguhnya tidak ada satu kitab suci pun setelah Al-Qur`an, dan tidak akan ada nabi setelah Muhammad Saw. Ketahuilah bahwa saya bukan pembuat undang-undang. Saya hanyalah seorang pelaksana. Saya juga bukan orang yang membuat ajaran-ajaran baru (bid’ah), saya hanyalah sebagai pengikut. Saya bukanlah orang terbaik di antara kalian. Justru saya adalah orang yang memilkul beban berat. Sesungguhnya orang yang melarikan diri dari seorang pemimpin yang zalim, dia bukan orang zalim. Ketahuilah bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk apabila dia berada dalam kemaksiatan.” Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto