Kisah Thalut dan Sikap Kaum Muslimin dalam Menghadapi Dunia

26 Mei 2013

Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia termasuk pengikutku, kecuali yang menceduknya seceduk tangannya." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama Dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan Kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar" (QS Al-Baqarah: 249).
Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur`an, Sayyid Quthb menjelaskan, di sinilah tampak kebenaran hikmah Allah Swt. memilih Thalut. Thalut menghadapi peperangan bersama tentara dari umat yang dahulu pernah dikalahkan musuh, yang sudah mengenal kekalahan dan kehinaan di dalam sejarahnya dari waktu ke waktu. Thalut akan berhadapan dengan kekuatan jiwa tentaranya dalam melawan kekuatan musuh yang besar dan pernah menjadi pemenang pada masa lalu. Kekuatan jiwa itu tak lain adalah iradah (kemauan, tekad, kehendak), yaitu iradah yang dapat mengendalikan syahwat dan keinginan, yang tegar menghadapi kesulitan dan penderitaan, yang mampu mengungguli semua kebutuhan dan keperluan, yang lebih mengutamakan ketaatan dan mengemban tugas-tugas dan tanggung jawabnya, sehingga mampu melewati ujian demi ujian. Pemimpin yang telah dipilih untuk mereka itu harus menguji iradah tentaranya, ketabahan, dan kesabarannya. Pertama-tama ketabahan menghadapi godaan keinginan dan syahwat. Kedua, kesabaran menghadapi kesulilatan dan beban berat. Sang pemimpin (Thalut) memilih ujian ini, sedangkan mereka sebagaimana dikatakan dalam beberapa riwayat dalam kondisi kehausan. Ujian itu dengan maksud untuk mengetahui siapa orang yang sabar bersamanya dan siapa orang yang akan surut ke belakang dan lebih mengutamakan keselamatan dirinya. Benarlah firasatnya,
“Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka.”
Thalut membolehkan mereka minum, tetapi hanya seceduk tangan saja sekedar untuk membasahi tenggorokan. Akan tetapi hal itu jangan sampai membuat mereka tidak ikut berperang. Namun, ternyata sebagian besar dari mereka harus berpisah dari Thalut, karena mereka mengikuti keinginan hawa nafsunya. Mereka berpisah darinya karena mereka tidak layak mengemban tugas penting yang dibebankan ke pundak Thalut dan pundak mereka. Ini merupakan langkah baik dan sebuah keharusan bahwa mereka terpisah dari tentara yang akan berperang. Sedangkan tentara yang diperlukan itu bukan sekedar jumlahnya yang besar, tetapi mereka yang memiliki hati kokoh, kemauan yang mantap, iman yang teguh, dan konsisten di atas jalan yang lurus.
Ujian ini juga menunjukkan bahwa niat yang tersembunyi itu saja belum cukup. Karena itu harus dilakukan ujian yang bersifat praktik dalam bentuk tindakan nyata dan menghadapi peristiwa-peristiwa di jalan sebelum menuju peperangan yang sesungguhnya. Pengalaman itu juga menunjukkan ketegaran hati sang pemimpin terpilih yang tidak terguncang hatinya, meskipun sebagian besar tentaranya surut ke belakang pada ujian pertama. Bahkan ia terus melanjutkan perjalanan.
Ujian itu telah menyaring pasukan Thalut, dalam batas tertentu, namun ujian tersebut belum selesai,
“Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama Dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya."
Jumlah mereka tinggal sedikit, dan mereka mengetahui kekuatan dan banyaknya tentara musuh di bawah pimpinan Jalut. Mereka adalah orang-orang mukmin yang tidak mungkin mengingkari janjinya kepada Nabi mereka. Akan tetapi ketika menghadapi kenyataan yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri, mereka merasa lemah untuk menghadapinya.
Ini adalah ujian yang menentukan, yang mengharuskannya mengandalkan kekuatan lain yang lebih besar daripada kekuatan yang tampak dalam pandangan mata. Hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang telah sempurna imannya, kemudian hatinya menjalin hubungan dengan Allah. Maka, mereka mendapatkan ukuran baru yang muncul dari realitas imannya, bukan ukuran sebagaimana yang digunakan manusia yang hanya mengukur dengan keadaan lahiriah saja.
Di sini tampillah golongan yang orang beriman, golongan yang jumlahnya sedikit dan merupakan manusia pilihan yang memiliki timbangan Rabbaniyah,
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Demikianlah, berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak. Maka, inilah kaidah dalam pandangan orang-orang yang yakin akan bertemu dengan Allah. Kaidah bahwa golongan yang beriman itu sedikit jumlahnya, karena mereka akan mendaki tangga yang sulit hingga mencapai tingkatan terpilih. Akan tetapi mereka menang karena selalu berhubungan dengan sumber semua kekuatan dan karena mereka mengejawantahkan kekuatan pemenang, yaitu kekutan Allah yang Mahamenang atas urusan-Nya dan yang Mahakuasa atas hamba-Nya, yang menghancurkan para diktator, menghinakan orang-orang yang zalim, dan menekan orang-orang yang sombong.
Mereka menyandarkan kemenangan hanya kepada Allah, dengan izin Allah. Mereka lalu mengemukakan alasannya yang hakiki, yaitu “Allah beserta orang-orang yang sabar”. Maka dengan semua itu, mereka hendak menunjukkan bahwa mereka dipilih oleh Allah Swt. untuk melakukan peperangan yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilah.
Inilah golongan kecil yang percaya penuh akan bertemu dengan Allah yang mengembangkan kesabaran dari keyakinannya terhadap pertemuan ini, yang menyandarkan kekuatan dari kepercayaannya terhadap Allah, bahwa Allah senantiasa beserta orang-orang sabar. Inilah golongan kecil yang memiliki kepercayaan utuh, sabar, dan mantap. Serta yang tidak dapat diguncangkan oleh banyaknya jumlah musuh beserta kekuatannya. Mereka inilah golongan yang menentukan akhir peperangan, setelah terus menerus memeperbaharui dan mengaktualkan janjinya kepada Allah, menghadapkan hatinya kepada-Nya, dan memohon pertolongan kepada-Nya ketika mereka sedang menghadapi kakuatan besar yang menakutkan,
“Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa, "Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran atas diri Kami, dan kokohkanlah pendirian Kami dan tolonglah Kami terhadap orang-orang kafir. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam” (QS Al-Baqarah: 250-251).
Demikianlah, mereka mengucapkan “Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran atas diri Kami.” Ini adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan pemandangan di mana kesabaran dituangkan oleh Allah kepada mereka, hingga memenuhi hati mereka, serta dicurahkan ketenangan, ketenteraman, dan ketabahan dalam menghadapi bahaya dan kesulitan. “Kokohkanlah kaki (pendirian) kami,” karena pendirian ini berada di tangan Allah yang Mahasuci, supaya Allah mengokohkannya hingga tidak goyah. “Dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Maka jelaslah posisinya, yaitu iman berhadapan dengan kekafiran, kebenaran berhadapan dengan kebatilah. Dan mereka berdoa kepada Allah supaya Allah menolong kekasih-kekasih-Nya yang beriman itu untuk menghadapi musuh-musuhnya yang kafir.
Sementara itu, dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraisy Syihab menjelaskan bahwa sebagian ulama memahami ujian ini dalam arti ujian menghadapi dunia dan gemerlapnya. Mereka meminum air sungai itu untuk mendapatkan kepuasan penuh, mereka adalah yang ingin meraih semua gemerlap dunia. Adapun yang tidak meminumnya, dalam arti tidak terpengaruh oleh gemerlap dunia dalam berjuang, itulah kelompok Thalut. Demikian juga mereka yang hanya mencicipi sedikit dari air sungai itu. Dengan demikian, ayat ini membagi mereka ke dalam tiga kelompok, yakni yang minum sampai puas, yang tidak minum, dan yang sekedar mencicipinya.
Hal yang sama dijelaskan di dalam Tafsir Al-Qurthubi bahwa ayat ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah Swt. untuk dunia. Allah Swt. mengumpamakan dunia dengan sungai. Ada yang meminum air sungai tersebut dan tidak mau beranjak dari sungai tersebut bahkan memperbanyak minum air sungai tersebut. Ada yang sama sekali tidak meminum air sungai bahkan zuhud dengan air sungai tersebut. Dan ada yang menceduk seceduk dengan tangannya sekedar kebutuhan. Tiga keadaan tersebut berbeda-beda penilianannya di sisi Allah Swt.
Ayat di atas, sebagaimana terjemahannya berbunyi, “barangsiapa tidak meminumnya, maka dia termasuk pengikutku, kecuali yang menceduknya seceduk tangannya.” Redaksinya yang demikian itu, yakni pengecualiannya ditempatkan di akhir, bukan berbunyi sebagaimana gaya bahasa yang umum digunakan, “Barangsiapa tidak meminumnya, kecuali yang menceduknya seceduk tangannya, maka dia adalah pengikutku.” Ayat ini tidak berbunyi demikian karena yang ingin ditekankan adalah tidak minum, dan bahwa inilah yang seharusnya terjadi.
Setelah menjelaskan dasar tersebut, barulah pengecualian itu disampaikan. Setelah mereka melampaui sungai dan melihat kekuatan senjata dan personil musuh di bawah pimpinan Jalut, sebagaimana mereka berkata, “Tak ada kesanggupan kami hari ini menghadapi Jalut dan tentaranya.” Tidak dijelaskan oleh ayat ini, apakah ucapan tersebut disampaikan kepada Thalut, atau ucapan mereka satu sama lain, ataukah bisikan hati mereka yang diketahui Allah Swt.
Adapun orang-orang yang yakin bahwa mereka akan menemui Allah dan ganjaran-Nya di hari Kemudian, dengan penuh semangat dan optimisme, mereka berkata, “Berapa banyak terjadi, golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” Ini karena optimisme mereka disertai oleh keyakinan bahwa kemenangan bukan ditentukan oleh kuantitas tetapi kualitas, dan bahkan kemenangan bersumber dari Allah Swt. dan atas izin-Nya. Keyakinan itu juga lahir dari kesadaran mereka tentang perlunya ketabahan dan kesabaran karena Allah beserta orang-orang sabar. Bukti kebenaran ucapan orang-orang beriman itu ditemukan antara lain pada sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw. dalam Perang Badar. Ketika itu, kaum muslimin hanya berjumlah 313 orang dengan persenjataan dan perlengkapan yang amat kurang, namun demikian Allah Swt. menganugerahkan kemenangan kepada kaum muslimin (Quraisy Syihab, 2009).

Dunia yang Menipu
Kekalahan pasukan muslimin dalam Perang Uhud disebabkan karena pasukan pemanah yang ditempatkan di atas bukit tidak menaati perintah Rasul Saw. agar tidak meninggalkan posisinya sebelum diperintahkan untuk turun. Mereka tergiur dengan harta benda yang ditinggalkan pasukan kafir yang lari tunggang-langgang setelah diporak-porandakan oleh pasukan kaum muslimin. Kemenangan yang sudah di depan mata seketika berbalik menjadi pukulan telak ke jantung pasukan kaum muslimin. Ketika itu pasukan kafir yang dipimpin Khalid bin Walid (sebelum masuk Islam), melihat celah karena sebagian besar pasukan pemanah kaum muslimin menuruni bukit Uhud untuk mengambil ghanimah. Pasukan kafir akhirnya berbalik menyerang pasukan kaum muslimin dari arah depan dan belakang. Dalam posisi terjepit, pasukan kaum muslimin banyak yang syahid. Para shahabat  kocar-kacir. Kaum musyrikin maju mendekati posisi Rasulullah Saw. Mereka berhasil melukai kepala beliau, memecahkan gigi seri beliau. Bahkan beberapa kali beliau terperosok ke dalam lubang yang digali oleh Abu ‘Amir Fasiq dan melempari beliau dengan batu-batuan.
Kekalahan pasukan kaum muslimin terjadi pada sebaik-baik generasi,dan di antara mereka terdapat sebaik-baik manusia setelah rasulullah dan Abu bakar.namun akhirnya mereka kalah juga.hal ini terjadi karena pemanah itu membangkang perintah qaid,sementara perhatian mereka tertuju pada ghanimah yang tercecer di medan perang hingga meneteslah air liur mereka,menolak untuk mengemban perintah dari yang ghaib,dan lari berbondong-bondong menuju dunia.Maka kekalahanlah yang memang sepantasnya menimpa mereka.
Kita saksikan kekalahan ini berulang kembali pada permulaan perang Hunain,tatkala kaum muslimin mulai condong kepada dunia dan kagum terhadap banyaknya tentara mereka,lupa akan pertolongan Allah dan bantuan-Nya.bahkan mereka melampaui batas dikarekan jumlah dan perlengkapan.barulah ketika mereka kembali kepada prinsip zuhud dari segala gemerlapnya dunia dan memenuhi panggilan nabi,Allah memberikan kemenangan setelah menderita kehancuran.
Kita masih mendengar ungkapan jendral tentara muslim kepada Panglima parsi,"kami datang kepadamu dengan tentara yang mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan."sadarlah panglima parsi bahwa tipe kaum seperti inilah yang tidak akan terkalahkan.
Kita bandingkan dengan peperangan di zaman sekarang melawan yahudi,semuanya berakhir dengan kekalahan.Kita tidak ragu bahwa penyebab utamanya adalah hubbundunya dalam pangkat,prestasi dan prestise,koleksi harta,membangun gedung-gedung dan mencintai syahwat yang haram.
Kita jumpai di antara kekalahan-kekalahan itu, pengkhianatan demi pengkhianatan.Kita mendengar ancaman-ancaman kosong menjelang perang tanpa bukti. Kita saksikan panglima-panglima perang kita hanyut dalam kehinaan pada saat-saat perang. Salah seorang mereka menjual negerinya kepada musuh demi sedikit harta, sementara yang lain mundur dari jengkal tanahnya karena khawatir keselamatan singgasananya. Yang lain lagi sengaja menciptakan kejahatan lain.
Apakah ia mengira bahwa segalanya akan berakhir sampai disitu?
Kekalahan demi kekalahan akan terus menimpa kita sebelum kita mencintai kematian, sebagaimana musuh mencintai kehidupan,mengesampingkan dunia dan memelihara surga dalam diri.Dari itu tercapailah kemenangan (http://www.pk-sejahtera.us/index.php/14-ind-columns/tarbiyah/26-cinta-dunia-mengakibatkan-kekalahan).
Beberapa penggalan ayat dan hadits di bawah ini semoga dapat mengingatkan kita semua untuk zuhud terhadap dunia dalam bingkai makna yang telah diterapkan oleh Rasulullah Saw., para sahabatnya, dan para pengikut beliau yang mendapat bimbingan dari AllahSwt.
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS At-Takaatsur 1-8).
Dari Amru bin Auf al-Anshari Ra. bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarrah ke al-Bahrain untuk mengambil jizyahnya. Kemudian Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa harta dan orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah. Mereka berkumpul untuk shalat Subuh dengan Nabi Saw. tatkala selesai dan hendak pergi mereka mendatangi Rasul Saw., dan beliau tersenyum ketika melihat mereka kemudian bersabda:”Saya yakin kalian mendengar bahwa Abu Ubaidah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu?” Mereka menjawab:”Betul wahai Rasulullah”. Rasul Saw. bersabda:” Berikanlah kabar gembira dan harapan apa yang menyenangkan kalian, demi Allah bukanlah kefakiran yang paling aku takutkan padamu tetapi aku takut dibukanya dunia untukmu sebagaimana telah dibuka bagi orang-orang sebelummu dan kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan akan menghancurkanmu sebagaimana telah menghancurkan mereka” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda: ”Celakalah hamba dinar (emas), dirham (perak), pakaian dan pakaian sutra. Jika diberi ia suka dan jika tidak ia tidak suka” (HR Bukhari). Dalam riwayat Bukhari yang lain:” Jika diberi ia suka dan jika tidak ia murka, celakalah dan semoga celaka dan jika terkena duri tidak ada yang mengeluarkannya. Berbahagialah bagi seorang hamba Allah yang mengambil kendali kudanya di jalan Allah kepalanya acak-acakan dan kakinya berdebu, jika ia disuruh berjaga maka berjaga dan jika disuruh di depan maka ia di depan. Jika ia minta izin tidak diizinkan dan jika minta pesan tidak dikabulkan.
Dari Abu Said Al-Khudri Ra. dari Nabi Saw. bersabda:”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita” (HR Muslim).

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto