Zaman Edan

16 Mei 2013

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra`: 32).

Tidak keliru bila dikatakan zaman sekarang adalah zaman edan. Setidaknya bila hal ini dikaitkan dengan hancurnya sendi-sendi keluarga dan masyarakat. Perselingkuhan, seks bebas dan narkoba di kalangan orangtua dan remaja, hingga perzinaan di dalam keluarga kerap mewarnai edannya zaman ini. Setiap hari, halaman surat kabar dan info kriminal di televisi dipenuhi oleh berita tentang pembunuhan, pencurian, perselingkuhan, pemerkosaan, dan narkoba.
Foto-foto dan gambar-gambar wanita yang mengumbar aurat di koran, majalah, dan tabloid sudah menjadi pemandangan “lumrah” bagi sebagian besar masyakarakat kota. Mereka tidak protes. Seolah-olah tidak ada kekhawatiran kalau gambar-gambar porno itu akan merusak akhlak dan moral anak-anak.
Belum lagi tayangan televisi yang menampilkan film dan sinetron percintaan, kisah kasih para selebritis, iklan-iklan syur, dan adegan-adegan ciuman yang dapat dengan bebas dilihat oleh siapa saja, termasuk aanak-anak. Media massa lebih suka mengeksploitasi berita-berita keburukan ketimbang mengeksplorasi kabar-kabar kebaikan, sehingga terkesan keburukan lebih mendominasi dibanding kebaikan. Drama percintaan, perselingkuhan, perceraian, dan perselisihan di kalangan artis yang dikemas dalam bentuk infotaintmen dan sinetron jelas akan memberi dampak buruk pada perkembangan psikologi anak-anak dan remaja. Mereka tumbuh dewasa sebelum waktunya. 
Dulu, sekitar tahun 80-an, kita disuguhkan film bertajuk “Gita Cinta dari SMA” yang mengangkat tema percintaan di kalangan pelajar SMA. Sekarang, bukan saja sinetron ala “Gita Cinta dari SMA” yang ditayangkan, sinetron yang mengangkat tema pacaran di kalangan pelajar SMP bahkan SD pun sudah banyak kita jumpai di televisi.
Spektrum model pergaulan bebas di zaman edan ini pun makin meluas. Dulu, ketika media massa cetak dan elektronik hanya beredar di kota-kota besar, desa adalah tempat tinggal yang bersih dan “bebas polusi”. Para pemuda desa senang berkumpul di masjid dan mushalla. Para orangtua menyuruh anak-anaknya belajar mengaji. Ajaran agama masih ditaati. Norma-norma masyarakat yang mengandung nilai-nilai kebaikan masih dijunjung tinggi. Tingkat kriminalistas masih sangat kecil.
Tetapi sekarang, ketika media massa cetak dan elektronik mulai merambah seluruh pelosok Nusantara, dan desa-desa mulai dibanjiri arus informasi global, maka desa tidak lagi menjadi tempat yang nyaman dan aman. Berbagai macam tindak criminal, bukan lagi monopoli masyarakat kota. Justru sebaliknya, saat ini tidak sedikit peristiwa-peristiwa tragis terjadi di desa-desa terpencil.
Di era globalisasi sekarang ini, pacaran, ciuman, jalan bergandengan pria dan wanita yang bukan suami istri, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berduaan di tempat sepi, kumpul kebo, BBS (bobo-bobo siang), dan sejumlah kosa kata lain untuk menjelaskan fenomena pergaulan bebas di kalangan pria dan wanita adalah pemandangan “biasa”, bahkan nyaris jadi budaya. Padahal semua itu adalah bagian dari zina yang dilarang oleh Islam.
Para pelaku perzinaan itu bukan saja berasal dari kalangan remaja, tapi mulai dari anak-anak, orangtua hingga kakek-kakek dan nenek-nenek. Perzinaan, bukan hanya terjadi di kalangan anak jalanan yang tidak terdidik, tapi juga terjadi di kalangan orang terdidik, bahkan pendidiknya itu sendiri terlibat melakukan perzinaan.
Media massa cetak dan elektronik banyak memberitakan kasus-kasus perzinaan dan perkosaan. Di Palembang, seorang kakek )60 th( menggauli gadis cilik yang masih tetangganya. Di Kediri, seorang paman (40 th) tega mencabuli keponakan sendiri yang baru duduk di kelas dua SLTP. Di Penjaringan, Jakarta Utara, seorang ayah tiri memerkosa anak tirinya hingga hamil. Di Banjarmasin, seorang sopir lepas memperkosa adik iparnya yang masih berusia 12 tahun. Dan di Lampung, seorang ayah menodai anak kandungnya yang berusia 17 tahun hingga melahirkan. Kerusakan moral juga melanda lembaga pendidikan, dimana seorang Kepala Sekolah sebuah SMU di Jambi diduga mencabuli seorang pelajar putri kelas dua sekolah itu.
Di Makassar, pasangan kumpul kebo ditangkap personel Polresta Makassar. Pasangan ini telah beberapa kali melakukan aborsi. Di daerah itu pula Kepolisian Sektor Kota Tallo, Makassar, menangkap basah tiga pasangan kumpul kebo di sebuah rumah gubuk. Mereka ditangkap karena warga sekitar resah melihat ketiga pasangan hidup serumah tanpa menikah.
Sementar itu, sebanyak 21 pelacur dan empat remaja di bawah umur terjaring operasi saat Satuan Polisi Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menggelar razia di berbagai lokasi. Operasi Pekat Garda ini dilakukan berdasarkan keterangan warga yang resah terhadap kegiatan prostitusi di sejumlah warung remang-remang dan pinggir jalan. 

Potret Mesum 
Itulah potret mesum masyarakat Indonesia. Potret itu mungkin saja bisa lebih besar dari sekedar yang terangkat di media massa. Potret yang penuh noda dan guratan-guratan dosa itu sebabkan, salah satunya, oleh lemahnya pendidikan akhlak dan moral dalam keluarga. Nilai-nilai amoral sekarang menyerang kehidupan keluarga dan masyarakat dengan bantuan kemajuan teknologi. Ironisnya, ternyata sebagian besar masyarakat sekarang malah menoleransi adanya dekadensi moral tersebut.
Simak apa yang dikatakan Aa Gym usai ceramah di SMUN 20 Bandung, Jumat (10/10/2003). “Masyarakat seolah-olah tidak terganggu psikisnya karena senang dibokongi oleh orang yang tampil di panggung. Dulu, jangankan penyanyi, anak kecil saja membokongi pantatnya di depan kita, maka kita bisa marah habis-habisan. Sekarang malah terbalik, banyak orang ramai-ramai mencari bokong atau pantat orang yang menyanyi, apalagi kalau sambil memutar,” katanya.
Menurutnya, kemajuan teknologi saat ini masuk ke rumah-rumah. Anggota keluarga bisa secara mudah mengakses kemaksiatan dan sekaligus nilai-nilai keagamaan. Yang memprihatinkan, ternyata nilai-nilai keagamaan itu sangat minim bisa diakses dari media elekronik. Di televisi misalnya, acara keagamaan ditayangkan hanya pada waktu pagi dan beberapa menit setiap sebelum azan Maghrib. Bahkan demi untuk menyajikan berita aktual sedini mungkin, penyajian acara-acara keagamaan ditarik waktunya menjadi sebelum shalat Shubuh. 
Demikian halnya tayangan acara yang berbau “hiburan” ternyata banyak yang kurang maslahat bagi pemantapan nilai-nilai keimanan para pemirsanya. Film-film sinetron yang ditayangkan di televisi cenderung menampilkan gambar-gambar, perilaku pemeran film, serta bahasa-bahasa tutur yang kurang mendidik. Akibatnya, para pemirsa atau penonton yang baru kategori anak-anak atau remaja maupun yang berangkat dewasa, terpengaruh dalam budaya perilaku dan ucapan tak bermoral. (Pikiran Rakyat, 11/10/2003).
Kita, tak pernah membayangkan sebelumnya, akan menyaksikan suatu zaman saat prilaku anak bangsa kembali seperti zaman primitif. Para WTS tanpa malu sedikit pun, berunjuk rasa bersama germo, dan mucikari, minta dispensasi agar pada bulan Puasa bisa terus beroperasi. Seorang anak tega memerkosa ibu kandungnya sendiri. Seorang ayah menggauli anak-anaknya hingga melahirkan. Para pencuri unjuk gigi hingga berani membakar kantor polisi.
Kerusakan moral juga terjadi di tingkat elit. Petugas pajak kongkalikong dengan wajib pajak untuk menggelapkan uang Negara. Para wakil rakyat bekerjasama dengan eksekutif menggiring anggaran Negara untuk sebagiannya masuk ke kantong mereka sendiri. Tangan hakim tak mampu mengangkat palu untuk menegakkan hukum, lantaran menerima suap dari terdakwa. Jaksa sengaja membuat tuntutan lemah, supaya hakim menjatuhkan vonis ringan kepada terdakwa. Para pengacara ramai-ramai mencari celah lemah hukum demi membebaskan klien yang telah membayarnya mahal. Sementara aparat penegak hukum lainnya hanya diam seribu bahasa. Mulut dan tangan mereka terkunci lantaran mereka tidak suci. Hampir semua lembaga negara, tak mampu menghidar dari intervensi para pengusaha dan kepentingan politik kelompok kuat. Apakah sudah sebegitu rusaknya moral anak bangsa ini? Na'udzubillah. 
Suka tidak suka, mau tidak mau, itulah dunia nyata dan di sanalah sekarang kita berada. Kita harus hidup di era globalisasi, dalam abad dominasi teknologi dengan segudang dampaknya yang menuntut kita sebagai anak zaman agar lebih terampil memelihara keseimbangan tarikan kemajuan teknologi dengan hunjaman ideology, sehingga tidak hanyut oleh serbuan arus kebudayaan baru yang beraneka ragam, karena tidak seluruh yang baru itu bagus dan tidak semua yang lama itu jelek.
Kita ingin mereformasi diri menjadi bangsa yang modern, artinya bangsa yang terpelajar dan cerdas, mampu memilah dan memilih mana budaya yang harus dilestarikan karena mengandung nilai pendidikan, serta mana budaya yang harus dimusnahkan karena mengarah kepada kemusyrikan. Adat budaya yang pernah ditampilkan para karuhun yang sesuai dengan agama, tetap kita pelihara. Seperti tata krama dalam pergaulan, santun dalam pembicaraan, teduh dalam pembawaan, matang dalam bersikap, serta patriotisme atau keberanian dalam berperang.
Sekarang, hampir tiap menit kita menyaksikan berbagai kasus kejahatan yang dilakukan anak bangsa yang katanya berawal dari tontonan di televisi. Mereka terangsang oleh adegan-adegan erotik, pornografis, dan kekerasan, terjadilah perkosaan yang harus diakhiri pembunuhan. Begitulah menurut penuturan para pelaku yang sempat kita dengar lewat televisi juga.
Sementara anak cucu kita sepanjang hari nongkrong di depan televisi. Karena televisi sudah menjadi orangtua asuhnya, sudah bisa dibayangkan, 20 tahun akan datang yang mereka anggap benar itu adalah segala yang pernah mereka lihat selama ini di televisi. Dari film kartun saja mereka telah mendapat pelajaran, di sana tak ada kamus perdamaian, bahwa penyelesaian segala masalah harus diakhiri dengan pembunuhan.
Kita semua menyadari bahwa sekarang ini tengah terjadi berbagai krisis, antara lain krisis kepemimpinan, baik di rumah tangga maupun masyarakat. Sepertinya, tak ada lagi kata berwibawa yang mampu mempertahankan “tidak” atau “jangan”. Nasihat orangtua atau fatwa guru sudah dianggap radio butut. Rambu-rambu lalu lintas kalau tidak disertai polisi, nyaris tidak bunyi. Bahkan, orang yang membangkang terhadap suatu peraturan di sebuah lembaga atau organisasi, malah dianggapnya sebagai pahlawan yang idealis prinsipalis, dan harus didukung.
Dulu, lembaga fatwa MUI -- yang selama ini dianggap sebagai penjaga gawang moral bangsa – pernah menasehati Inul agar memperhalus goyangan pinggulnya. Ternyata nasehat MUI bukannya didengar dan ditaati, tetapi malah ditantang dengan nada sinis, mengapa MUI usil dengan mengurusi masalah tetek bengek. Akibatnya, dalam seketika berpuluh Inul muncul, gerakan ngebor-nya menembus berbagai iklan. Sekarang bahkan muncul goyangan-goyangan baru yang lebih vulgar. Para kiyai pun hanya bisa berucap, astagfirullah wana'udzubillah! Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto