Kesenangan yang Menipu

4 Jun 2013

Oleh: Dr. Ahzami Sami’un Jazuli

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri” (QS Ali Imran: 196).
Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang Islam yang disakiti di jalan Allah. Di antara yang menyakitkan umat Islam adalah ketika melihat orang-orang kafir berkuasa di dalam negeri dan juga menguasai dunia, sementara umat Islam yang selalu berjihad di jalan Allah menemukan berbagai macam kesulitan dan tantangan dalam hidupnya. Bagi orang Islam yang hatinya terlena karena tidak menjaga komunikasinya dengan Allah Swt., kondisi tersebut sangat mungkin akan menimbulkan prasangka yang salah terhadap karakteristik Islam. Oleh karena itu kadangkala kita dengar komentar sebagian orang yang mengatakan, “Mengapa kami yang berada pada jalan yang benar selalu mendapatkan kesulitan dalam hidup ini, sedangkan orang-orang kafir malah menguasai dunia?”
Kondisi tersebut tentu akan menambah kesesatan orang-orang kafir. Mereka semakin tidak menyadari kesesatan jalan yang mereka tempuh, karena dalam kehidupan di dunia ini mereka mendapatkan berbagai macam kesenangan dan kekuasaan. Padahal semua itu diberikan oleh Allah Swt. sebagai bentuk istidroj (penguluran), sama sekali bukan sebuah kehormatan bagi mereka. Kita lihat pada saat ini sebagian orang kafir telah menguasai sektor ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya, sementara orang-orang Islam tertinggal dalam berbagai macam kesulitan.
Kondisi semacam itu jangan sampai memperdaya kita, sebagaimana yang dipesankan Allah Swt. pada ayat ini. Karena walaupun semua yang dinikmati orang kafir merupakan kesenangan, akan tetapi bukan merupakan nikmat yang hakiki, tetapi kesenangan yang menipu, sebagaimana yang dijelaskan pada firman Allah Swt. pada ayat selanjutnya.
“Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya (QS Ali Imran: 197).
Ungkapan Al-Qur’an dalam menggambarkan berbagai macam kesenangan yang dirasakan orang kafir dalam kehidupan di dunia, diekspresikan dengan menggunakan kata mata’ dan bukan ni’mat. Karena ketika suatu kesenangan disebut nikmat, maka hal itu bersifat abadi sebagaimana kenikmatan yang akan diberikan Allah Swt. kepada orang-orang beriman dalam kehidupan di akhirat. Dan ketika berbicara tentang kesenangan-kesenangan yang dirasakan oleh orang-orang kafir dalam kehidupan di dunia, Al-Qur’an selalu menggunakan kata mata’. Yang dimaksud dengan mata’ adalah maa yutamatta’u bihi qoliilan tsumma yazul (kesenangan yang sedikit dan dari waktu ke waktu semakin menurun kualitasnya).
Ketika Al-Qur’an mengatakan bahwa apa yang dirasakan orang kafir adalah mata’, ini berarti bahwa berbagai macam kesenangan orang kafir adalah kesenangan yang sangat sedikit. Jika berbagai macam kesenangan yang mereka rasakan tersebut dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah berikan dalam kehidupan di akhirat, tidak ada apa-apanya. Dan kalau kita perhatikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, kesenangan orang kafir selalu digambarkan oleh Allah dengan kata qoliil (sedikit). Misalnya yang terdapat dalam firman Allah,
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!’ Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari takutnya. Mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, mengapa engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?’ Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (QS An-Nisaa`: 77).
Setelah mereka bersenang-senang di dunia, tempat mereka selanjutnya adalah Neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. Pemaparan seperti ini adalah sebuah metodologi yang dipergunakan Al-Qur’an dalam menanamkan pemahaman yang benar kepada umat Islam. Metodologi itu adalah dengan menanamkan persepsi pada umat Islam agar mereka tidak melihat segala hal dengan pandangan yang bersifat sementara, akan tetapi harus dipahami dalam perspektif jangka panjang.
Jika pada ayat sebelumnya Allah Swt. menerangkan tentang kedudukan orang kafir di akhirat, yaitu di neraka dan mereka kekal di dalamnya, maka pada QS Ali Imran: 198, Allah Swt. menjelaskan tentang kedudukan orang yang bertaqwa, yaitu di Surga yang penuh dengan kenikmatan,
“Akan tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti” (QS Ali Imran: 198).
Kata nuzul yang terdapat pada penggalan ini artinya adalah ‘suguhan’. Dan sesuatu yang disuguhkan biasanya berada di tempat yang lebih tinggi untuk disuguhkan ke tempat yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa surga Allah berada pada tempat yang tinggi, karena kata nuzul yang berasal dari kata nazala artinya turun dari atas ke bawah.
Mari kita mencoba membuat perbandingan antara warna kehidupan orang kafir dengan warna kehidupan orang yang beriman. Allah Swt. mengakui bahwa ada orang kafir yang merasakan berbagai macam kesenangan dalam kehidupannya di dunia. Akan tetapi kesenangan yang abadi hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang bertaqwa kepada Allah. Di sini Allah mengatakan, Akan tetapi orang-orang yang bertaqwa kepada Rabbnya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.  Kalau kita perhatikan, beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan Surga yang dijanjikan Allah Swt. kepada hamba-Nya, bukan kemenangan, kejayaan, prestise, atau yang lainya. Kita mengakui bahwa kemenangan, kejayaan, dan yang lain-lainnya itu penting dan seringkali juga dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Akan tetapi, semua itu tidak termasuk yang ditransaksikan kepada hambaNya yang berjuang di jalan-Nya.
Pemahaman yang benar tentang masalah ini sangat penting, agar seorang hamba tidak menuntut agar Allah Swt. memberikan kemenangan kepadanya ketika sedang berdakwah atau berjihad di jalan-Nya. Yang ada dalam benak seorang Mukmin adalah berjuang dan berjuang, berjihad dan berjihad. Apakah dalam berjuang itu mendapatkan kemenangan atau tidak, tidak terlalu penting. Karena inti dari perjanjian antara kita dengan Allah adalah bahwa Allah menjanjikan kita surga, baik ketika perang mendapatkan kemenangan atau kalah, baik ketika di dunia dalam kondisi miskin atau kaya. Oleh karena itu, jangan sampai ada seorang Muslim pun yang mengatakan, “Kita kan seorang Muslim. Kenapa kita kalah terus? Kenapa dalam pemilu dari Orde Lama sampai akan kembali ke Orde Lama lagi kok kita kalah terus?”
Harus kita ingat bahwa kemenangan bukanlah masalah yang terpenting. Yang terpenting bagi kita adalah perjanjian kita kepada Allah, bahwa kita telah berbai’at kepada Allah dan Rasul-Nya untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Kalau hal itu kita laksanakan, maka Allah menjanjikan kita Surga.
Jangan sampai kita terkecoh dengan perkatan, “Selama umat Islam menggunakan atribut Islam dalam perjuangannya, mereka tidak akan bisa mendapatkan kemenangan, tidak akan mendapatkan kekuasaan dan Khilafah. Lihat saja apa yang terjadi di Turki, Pakistan, Saudi Arabia, Mesir, Malaysia, dan juga Indonesia, sampai sekarang tidak ada yang mendapatkannya”. Ini adalah sebuah distorsi dalam memahami Islam. Kita harus ingat bahwa janji Allah kepada kita adalah surga, dan surga bisa kita dapatkan jika dalam kehidupan ini kita benar-benar mengaplikasikan manhaj Allah yang berlaku di muka bumi ini. Dan untuk itu kita pasti akan mendapatkan ibtila’ (ujian), dan hambatan-hambatan, yang merupakan konsekuensi logis dari perjanjian kita kepada Allah Swt. Ada pun kalau kemudian Allah memberikan kemenangan kepada kita, memberikan prestasi dan prestise kepada kita, memberikan harga diri yang tinggi kepada kaum Muslimin, semua itu semata-mata fadh-lum minallah (kelebihan yang Allah Swt. berikan kepada kita) dan sama sekali bukan termasuk min shamiimi al-bai’ah (tidak termasuk esensi daripada bai’ah kita kepada Allah).
Jadi, sikap yang harus kita miliki ketika melihat “kebebasan orang-orang kafir bergerak di muka bumi” adalah sabar dalam arti yang sebenarnya. Sabar dalam arti beramal dan beramal, tidak pernah berputus asa, dan tidak mengikuti keburukan-keburukan yang ditampilkan orang-orang kafir.
Kalau kita membaca buku-buku tentang dakwah yang ditulis oleh para da’i yang berkaliber internasional, pastilah yang kita jumpai adalah tafa’ul (optimisme) yang senantiasa ada pada seorang da’i. Yang dilakukan oleh Dr. Yusuf Qaradhawi misalnya, sekalipun beliau mengemukakan beberapa masalah yang terjadi di dunia Islam, namun dalam setiap bukunya beliau selalu menutup dengan ungkapan “Al-mustaqbalul jadiid (Masa depan untuk Islam)”. Kalau rasa optimis telah hilang dalam dada seorang da’i, maka kita akan mudah terpelanting dari jalan dakwah ketika menjumpai masyarakat yang ‘tidak naik-naik’ padahal kita telah mencurahkan segala kemampuan yang diberikan Allah kepada kita untuk membina mereka.
Mengapa kita harus tetap optimis? Karena tidak mustahil orang yang pada saat ini belum merespon secara positif kepada dakwah Islam, akan tetapi ketika kita meninggal dan diteruskan oleh generasi selanjutnya, ternyata orang yang dulunya menentang kita, sekarang menjadi pendukung utama dalam dakwah. Kejadian seperti ini sangat banyak terjadi dalam realitas dakwah yang berlangsung dari masa ke masa. Ini artinya keberhasilan perjalanan dakwah tidak diukur dengan umur seorang da’i. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto