Hidayah Allah

14 Mar 2013

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya” (QS Al-Baqarah: 272
Pada awal ayat ini Allah Swt. berfirman, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” Pada ayat ini Allah Swt. menerangkan kepada kita tentang masalah hati, khususnya tentang masalah masuk atau tidaknya hidayah Allah kepada hati seorang manusia. Ketika seseorang mendapatkan hidayah dari Allah Swt. maupun tetap berada pada kesesatan, hal bukan berada dalam kekuasaan manusia, akan tetapi semata-mata hak prerogatif Allah Swt. Sampai-sampai manusia yang paling mulia sekalipun, yang dalam hal ini adalah Rasulullah Saw., tidak mempunyai wewenang untuk memberikan hidayah kepada manusia.
Yang dimaksud hidayah di sini adalah hidayatut taufiq (petunjuk yang bisa menjadikan seseorang beriman kepada Allah Swt.), bukan hidayah yang artinya al-irsyad wal bayan (memberikan penjelasan tentang Islam). Kalau hidayah yang artinya adalah memberikan penjelasan tentang Islam kepada orang lain, hal itu dimiliki oleh Rasulullah Saw., sebagaimana juga kita memilikinya.
Pemahaman yang benar tentang masalah hidayah ini penting, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahaminya. Kalau kita salah dalam memahaminya, mungkin kita menyangka bahwa ada kontradiksi antara ayat ini dengan ayat lain, yaitu ketika Allah Swt. berfirman,
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS Asy-Syura: 52).
Jika pada ayat di atas Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah Saw. (dan umat Islam semuanya) bisa memberikan hidayah kepada seseorang, pada ayat yang lain Allah menegaskan bahwa manusia tidak bisa memberikan hidaya, sebagainya yang terdapat pada firman Allah,
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS Al-Qashash: 56).
Orang yang tidak memahami arti hidayah akan menyangka bahwa di dalam Al-Qur’an ada kontradiksi antara ayat-ayatnya, karena pada QS Asy-Syura: 52 Allah Swt. mengatakan, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”, sedangkan pada QS Al-Baqarah: 272 Allah Swt. menerangkan bahwa, “Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” Ini berarti, Rasulullah Saw. tidak bisa memberikan hidayah.
Perlu kita pahami bahwa hidayah yang Allah nafikan dari Rasulullah Saw. adalah hidayatut taufiq, yaitu hidayah yang menyebabkan seseorang beriman kepada Allah Swt. Hidayatut taufiq ini semata-mata milik Allah Swt. saja. Jika ada orang yang suka berbuat maksiat, kemudian mendapatkan hidayah sehingga ia tidak lagi berbuat maksiat, hanyalah Allah yang bisa memberinya hidayah seperti itu. Ini tidak bisa dilakukan oleh manusia sebagai seorang hamba, sekalipun ia hamba yang paling mulia seperti Rasulullah Saw., karena itu hanya dimiliki oleh Allah Swt. Rasulullah Saw. amat menginginkan pamannya Abu Thalib mendapat hidayah, akan tetapi Allah Swt. menegaskan bahwa Abu Thalib tidak layak mendapat hidayah. Allah Swt. Maha Mengetahui yang tampak dan yang tidak tampak.
Oleh karena itu, hanya kepada Allah-lah manusia seharusnya mohon hidayah. Dan agar mendapatkan hidayah dari Allah Swt., setiap Muslim harus benar-benar siap untuk ber-talaqi (menerima petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan ajaran Allah) hanya dari Allah Swt. saja. Jika seorang Muslim yang sekaligus juga seorang da’i telah memahami bahwa hidayah semata-mata dari Allah Swt., maka dalam dakwahnya ia tidak akan merasa merasa sempit dada jika dakwah yang dilaksanakannya menemui banyak rintangan. Sebaliknya, ketika dakwah yang disampaikannya mendapatkan sambutan yang antusias dari masyarakat, maka ia pun tidak akan ghurur (tertipu) dengan keberhasilannya itu.
Ketika setiap da’i memahami bahwa hidayah hanya ditangan Allah Swt., baik ketika orang yang didakwahi mendapatkan hidayah dengan menerima dakwahnya atau tidak mau menerima dakwahnya, ia akan tetap melaksanakan dakwahnya, karena ia paham bahwa dakwah itu sendiri merupakan ibadah, terlepas apakah orang yang didakwahinya mendapatkan hidayah atau tidak. Kalau hidayah itu diibaratkan cahaya matahari, maka tugas da’i adalah membukakan pintu dan jendela, agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah.
Jadi, Muslim atau non-muslim yang kita dakwahi adalah aset pahala yang tidak boleh kita musuhi. Kalau obsesi kita dalam berdakwah adalah agar orang yang kita dakwahi harus beriman, tapi ternyata tetap kufur, maka hati kita pasti merasakan sesuatu yang tidak enak. Oleh karena itu, Allah Swt. pernah mengingatkan Rasulullah Saw. yang sedih karena dakwahnya kurang mendapat sambutan. Allah Swt. berfirman,
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman” (QS Asy-Syu’ara: 3).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang isnadnya berasal dari Ibnu Abbas Ra. dari Nabi Saw., dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan untuk tidak memberikan sedekah kepada orang-orang non-muslim sampai turunnya ayat ini. Dengan turunnya ayat ini, Rasulullah Saw. dan kaum Muslimin diperintahkan untuk memberikan sedekah kepada setiap orang yang berhak menerimanya, baik Muslim maupun bukan Muslim.
Dari sini bisa kita lihat bahwa Islam tidak hanya melarang umatnya untuk memaksakan agamanya, lebih dari itu Allah Swt. memberikan toleransi kemanusiaan yang lebih besar lagi, yaitu kepedulian Islam kepada seluruh umat manusia, tidak hanya kepada umat Islam saja. Ini menunjukkan betapa Islam mengajarkan toleransi yang besar, sepanjang orang tersebut tidak memerangi Islam.
Pemahaman seperti ini perlu ditekankan pada masyarakat kita, karena sebagian masyarakat kita khususnya orang non-muslim mempunyai persangkaan yang salah tentang Islam, sehingga mereka takut kalau Islam mendapatkan kemenangan dari Allah Swt., mereka akan ditelantarkan atau bahkan takut diusir. Padahal, ketakutan mereka itu tidak pernah terjadi di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Siapa pun yang memerlukan bantuan, Islam akan membantunya sepanjang orang itu tidak memusuhi Islam.
Kita sebagai Muslim harus juga memperhatikan ayat ini, agar kita tidak terjatuh pada sikap ekstrim. Di satu sisi ada seorang Muslim yang memahami wala’ wal baro’ (loyalitas dan antipati) secara berlebihan, sehingga tidak mau memberikan pertolongan kepada non-muslim yang memerlukan bantuan. Di sisi lain ada juga orang yang ekstrim karena dengan alasan kemanusiaan yang berlebihan, dia tetap bergaul bersama orang-orang non-muslim yang mengancam dan memerangi Islam.
Selanjutnya Allah mengatakan, “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya untuk kamu sendiri.” Artinya, ketika seorang Muslim taat kepada Allah dengan berinfak fii sabiilillah, hal itu bukan untuk menambah kekuasaan Allah, akan tetapi untuk kebaikan kita sendiri. Allah Swt. mengatakan, “Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah.”
Allah menutup ayat ini dengan mengatakan, “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.” Ketika umat Islam berinfak, itu harus benar-benar karena Allah Swt. Dan jika demikian, Allah pasti akan membalasnya. Jadi ketika berinfak, jangan sampai berinfak karena untuk kepentingan politik yang tidak didasari hukum Allah, karena Allah tidak akan memberikan pahala baginya.
Meski hidayah adalah hak prerogatif Allah Swt., akan tetapi sebab-sebab datangnya hidayah harus diupayakan. Setiap manusia harus berusaha untuk mendapatkan hidayatut taufiq dari Allah Swt. dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhkan larangan-Nya. Orang yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah, berarti ia sedang berupaya menumbuhkan hidayah yang telah ada di dalam dirinya. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto