Melatih Anak Gemar Shalat

27 Mar 2013



Ajarilah anak-anakmu shalat manakala telah dapat membedakan kanan dan kiri (HR Thabrani).
Anak adalah amanah Allah yang sangat berharga. Karena anak pula, orangtua dituntut untuk mendidiknya sejak ia masih dalam kandungan ibunya sampai ia dewasa. Kenapa demikian? Sebab, setiap anak yang baru lahir selalu dalam keadaan suci (fitrah). Maka, saat kembali nanti kepada Sang Pemiliknya Allah Swt harus suci pula, tanpa noda dan dosa. Karena itulah pendidikan terhadap anak (tarbiyatul aulad) dalam pandangan Islam adalah wajib hukumnya. Sesibuk apapun pekerjaan kita, pendidikan anak-anak kita tak boleh terbengkalai.
Salah satu bentuk pendidikan itu adalah shalat. Shalat adalah salah satu pilar aqidah dan akhlaq Islam yang sangat mendasar. Karena itu, ia harus senantiasa dihidupkan, dikokohkan, dan ditumbuhsuburkan dalam tiap-tiap keluarga Muslim. Nabi Saw. bersabda, “Terangilah rumah-rumah kalian dengan shalat dan tilawah Al-Qur`an.”
Nasehat di atas sudah barang tentu bukan sekadar anjuran belaka, tapi mengandung perintah kepada kita, bahwa para kepala keluarga Muslim berkewajiban menegakkan budaya shalat dan bacaan Al-Qur`an di dalam tiap-tiap rumahtangga mereka. Karena kekuatan rumahtangga seseorang sangat ditentukan oleh kedua faktor itu. Selain, bahwa shalat dan tilawah Al-Qur`an merupakan refleksi dari kekuatan aqidah seseorang.
Shalat tak sekadar hubungan pribadi antara manusia dan Allah. Shalat mengandung dimensi yang sangat luas. Shalat yang khusyuk tak hanya mendekatkan hubungan manusia dengan Allah Swt., tapi juga dapat menjadi daya dorong untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tertib, saling menolong, senang bekerja keras, dan saling mengingatkan di dalam kebaikan.
Kita tentunya tidak bisa mengatakan seseorang aqidahnya baik hanya melihat dia melakukan shalat dan membaca Al-Qur`an sekali waktu, alias tidak rutin. Dalam konteks keluarga, penegakan budaya shalat dan membaca Al-Qur`an yang dimaksud, adalah kebiasaan yang melekat kuat dalam diri seluruh anggota keluarga. Hingga kedua ajaran itu menjadi sesuatu yang inheren dan hidup dalam sebuah keluarga.
Ini menjadi alasan kuat, kenapa Islam sejak awal memerintahkan kedua ajaran itu, khususnya shalat, wajib disosialisasikan pada anak-anak kita sedini mungkin. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Rasulullah Saw. biasa menangani sendiri dalam mengajari anak-anak mengenai hal-hal yang mereka perlukan dalam mengerjakan shalat” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i).
Mengajarkan anak-anak shalat memang tidak dengan cara indoktrinasi. Kita perlu menuntut mereka dengan penuh kesabaran dan ketekunan, yakni dengan cara pembiasaan. Karena menumbuhkan perilaku shalat pada anak-anak akan efektif lewat cara pembiasaan, maka seyogyanya para orangtua memberikan qudwah (teladan) sebagai penegak shalat yang baik di mata anak-anak mereka. Walaupun dengan cara ini pun tidak dijamin anak-anak akan rajin melakukan shalat. Sampai pada tahap usia tertentu, di mana anak tetap mbalelo malas mengerjakan shalat, tindakan lebih tegas, misalkan memukul, diperbolehkan dalam Islam. Namun tetap dengan cara tidak menyakiti fisik anak.
“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat di kala mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya di kala mereka berusia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidurnya” (HR Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad hasan shahih atau shahih).
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa usia lima sampai tujuh tahun merupakan periode pembiasaan, pemahaman, tanpa sanksi. Pengenalan shalat sudah bisa dilakukan pada anak usia tiga tahun. Walaupun dia naik-naik ke punggung kita, jangan dimarahi. Sebab, yang diharapkan adalah anak mengetahui dan biasa terhadap gerakan-gerakan shalat. Kalau dimarahi, nanti yang terkesan dari shalat itu cuma ada omelan. Sedangkan usia tujuh sampai sepuluh tahun merupakan pembiasaan dan sanksi. Itu merupakan persiapan di mana anak sudah memasuki usia baligh.
Para ahli psikologi anak bahkan menyarankan agar para orangtua mulai mengajarkan shalat kepada anak-anaknya sejak awal, nol tahun. Di sinilah orangtua berperan. Nol sampai enam tahun merupakan masa perkembangan anak yang sangat penting. Di sinilah pengenalan agama dilakukan. Misalnya selagi bayi dan si ibu mau shalat, anak diajak bicara. ”Duduk sini dulu, mama mau shalat.”
Begitu seterusnya hingga anak bisa bicara dan berjalan. Bila mencapai tahap berjalan, ibu perlu menyiapkan diri dengan pakaian shalat dan waktunya. Bila anak bertanya tentang tujuan shalat, orangtua perlu menjelaskan bahwa shalat adalah kewajiban bagi setiap Muslim, sebagai wujud pengabdian dan ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. karena Allah Swt. telah memberi nikmat lewat rezeki yang halal.
Anak-anak rajin shalat, penurut, serta giat belajar, dan giat membantu orangtua, tentu menjadi dambaan para orangtua. Tapi masalahnya, bagaimana cara menumbuhkan sifat dan perilaku positif di atas pada anak-anak kita? Di bawah ini sedikit catatan, mudah-mudahan bisa menjadi pedoman praktis sederhana untuk melatih anak-anak agar rajin shalat.
Pertama, tunjukkan di mata anak-anak kita, bahwa kita sebagai orangtua yang baik di mata mereka, khususnya dalam menegakkan budaya shalat. Artinya, sedapat mungkin kita melaksanakan shalat pada awal waktu dan berjamaah di masjid. Adalah kebiasaan positif, sesering mungkin anak kita bawa ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah, walaupun mungkin mereka mempersepsikan masjid sebagai tempat bermain.
Memang patut kita sesali bila ada pengurus masjid yang terlalu berlebihan menindak anak-anak yang kedapatan bercanda di dalam masjid. Sampai-sampai ada yang mengusirnya ke luar masjid. Seolah-olah tidak ada cara lain untuk menertibkan anak-anak selama berada di masjid. Padahal akan lebih baik bila anak-anak betah berlama-lama di masjid ketimbang di depan televisi. Di sinilah dituntut kesabaran kita, para orangtua dan para pengurus masjid.
Dari Jabir bin Samurah ra, ujarnya, “Saya shalat Zhuhur bersama Rasulullah saw, kemudian beliau pula ke keluarganya dan saya pun pulang bersamanya. Dua orang anak kecil menghadang beliau. Dan Rasulullah saw mengusap pipi mereka seorang demi seorang.” Jabir berkata lagi, “Adapun saya sendiri beliau usap pipi saya dan saya merasakan tangan beliau dingin dan harum baunya, seolah-olah baru keluar dari celupan minyak wangi” (HR Muslim).
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw menyambut dengan baik dan bersikap penuh lemah-lembut kepada anak-anak yang turut shalat di masjid. Jabir bin Samurah adalah salah seorang dari anak sahabat yang diperlakukan dengan penuh kelembutan oleh Rasulullah saw. Sehingga Jabir merasakan lembutnya usapan tangan Rasulullah saw yang sejuk dan sangat harum.
Riwayat di atas menceritakan, betapa para sahabat Rasul giat melatih anak-anak mereka untuk mencintai masjid dengan cara membiasakan mereka melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang diimami Rasulullah Saw. Dengan cara memberikan latihan-latihan praktis itulah anak-anak akan gemar melakukan amal-amal Islami.
Kedua, hormati waktu-waktu Islam dan nilai-nilainya dalam rumah kita. Misalnya, kita akan mematikan tivi atau tape-recorder pada saat adzan berkumandang, terutama saat adzan Maghrib dan ‘Isya. Tidak mengumandangkan suara-suara lain di dalam rumah kita, selain bacaan Al-Qur`an, nasyid Islami, atau lagu-lagu yang mengandung nilai-nilai pendidikan.
Ketiga, sesekali bentuk jamaah shalat keluarga, bisa dipimpin oleh ibu, atau sekali-kali dipimpin ayah. Anak-anak kita tugaskan secara bergantian, yang bertugas menggelar tikar, petugas adzan/iqomat, sebagai imam, dan petugas kultum (taushiyah), dilakukan secara bergiliran.
Kiat ini pernah dicontohkan Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits disebutkan, Anas bin Malik mengatakan, “Adalah Rasulullah Saw bergaul dengan kami hingga ia mengatakan kepada kami, ‘Hai Aba Umair sedang apa burung kecil itu?’ Kami menggelar tikar lalu beliau shalat dan membariskan kami di belakangnya” (HR. Ahmad).
Keempat, biasakan anak-anak bangun pagi untuk melakukan shalat subuh. Kalau perlu rangsang mereka dengan hadiah. Yang paling pagi bangun, mereka kita beri hadiah menarik. Atau, mereka yang catatan shalatnya baik, akan diberikan penghargaan menarik. Dengan begitu, perlu dibuat sistem evaluasi sederhana yang bisa diaplikasi dengan mudah dan dilakukan secara kontinyu.
Jangan terlalu khawatir kalau motivasi shalat anak-anak karena iming-iming hadiah, bukan karena Allah. Sebab, pada usia di bawah sepuluh tahun, kebanyakan anak-anak masih sulit menangkap hakikat ke-Tuhanan yang ghaib. Pada waktunya, ketika kita terus menerus memberikan pendidikan Islam yang benar kepada anak-anak kita, maka mereka akan dengan sendirinya memahami hakikat Allah, dan mereka tak perlu lagi diperintah untuk melakukan shalat.
Kelima, jika perlu kita membuat perlombaan tentang pengetahuan shalat dengan hadiah-hadiah menarik, dengan melibatkan anak-anak para tetangga kita. Atau dibuat pengajian rutin keluarga khusus untuk anak-anak, utamanya memfokuskan pada bahasan tentang pentingnya pendidikan shalat bagi anak-anak sejak dini. Tempatnya bisa digilir, sesuai dengan kesepakatan. Wallahu a’lam bishshawab.

1 comments:

  1. muhaimin mengatakan...:

    semoga manfaat...patut dijadikan renungan bagi setiap orang tua,guru,pengurus masjid,musholla...bersama sama memperbaiki cara pandang dan pola asuh kita terhadap anak..mohon ijin copas pak..

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto