Menjadi Suami Bijak

6 Mar 2013



“...Pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan ma’ruf. Maka jika kalian membenci mereka, barangkali sesuatu yang kalian benci itu, Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS An-Nisa: 19).

Pada suatu hari seorang lelaki mendatangi rumah Umar bin Kaththab Ra. hendak mengadukan keburukan akhlak istrinya. Namun, setiba di samping rumah Umar, ia mendengar istri Umar mengeluarkan kata-kata keras dan kasar kepada suaminya, sementara Umar tidak menjawab sepatah kata pun. Akhirnya orang itu berpikir untuk membatalkan niatnya.
Ketika lelaki itu hendak beranjak pulang, Umar keluar dari rumah dan memanggilnya. Umar berkata, “Engkau datang kepadaku tentu membawa berita penting.”
Lelaki itu berkata, “Wahai Umar, aku datang kepadamu hendak mengadukan keburukan akhlak istriku terhadapku. Akan tetapi setelah aku mendengar kelancangan istrimu kepadamu tadi dan sikap diammu terhadap perbuatannya, aku jadi mengurungkan niatku untuk melaporkan hal itu.”
Mendengar perkataan jujur itu, Umar tersenyum dan berkata, “Wahai saudaraku, istriku telah memasakkan makanan untukku. Dia juga telah mencucikan pakaianku. Mengurus urusan rumahku. Mengasuh anak-anakku tanpa henti. Maka bila ia berbuat satu dua kesalahan, tidaklah layak kita mempermasalahkannya, sementara kebaikan-kebaikannya kita lupakan.”
Mendengar penuturan Umar yang amat bijak dan penuh hikmah itu, orang tersebut pergi meninggalkan Umar bin Khaththab Ra. dengan hati gembira dan puas.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita tentang dua hal. Pertama, perselisihan dalam keluarga adalah hal yang biasa. Berkhayal tentang kehidupan keluarga tanpa perselisihan, tanpa masalah, tanpa kesalahan, tanpa kekurangan adalah mimpi kosong yang hakikatnya memerangi alam realitas dan fitrah kehidupan itu sendiri.
Kedua, suami harus senantiasa mengedepankan sikap sabar dan pemaaf terhadap kesalahan yang dilakukan sang istri. Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam As. yang bengkok. Ini pertanda wanita lebih cenderung melakukan kesalahan dan kekhilafan.
Ketenangan keluarga, seberapa pun kadarnya, pasti pernah mengalami goncangan. Baik disebabkan faktor luar maupun dari dalam keluarga sendiri. Dan itu bukanlah aib yang tercela. Ia menjadi aib apabila perselisihan itu tak kunjung selesai, atau bahkan semakin berkembang. Karena, dengan demikian jalinan cinta makin meregang, gersang, tidak hangat, dan tidak harmonis lagi.
Janganlah berangan-angan bahwa keluarga yang ideal adalah keluarga yang “lurus mulus” tanpa ada pertengkaran atau keretakan sedikit pun. Hatta sekalipun keluaraga Rasulullah Saw. pernah dibumbui perselisihan. Anggap saja perselisihan dalam keluarga sebagai pemanis kehidupan dan bagian dari dinamika kehidupan.
Kasus haditsul ifk yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. sempat membuat hubungan beliau dengan istrinya, ‘Aisyah, kurang harmonis. Orang-orang munafik telah menyebarkan berita bohong tentang ‘Aisyah yang dituduh menyeleweng dengan Shafwan bin Mu’aththal as-Silmi dalam perjalanan perang menghadapi Bani Musthaliq. Akan tetapi, sikap bijak Rasulullah Saw. yang hanya menjadikan Allah Swt. sebagai hakim, membuat masalah itu dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Allah Swt. membukakan kedok dan makar kaum munafiqin terhadap keluarga Rasulullah Saw.
Menghadapi perselisihan dalam keluarga, seorang suami yang bertindak sebagai kepala keluarga, harus bersikap sabar dan menahan diri untuk tidak terburu-buru melakukan vonis. Hadapilah dengan tenang dan sikap lemah lembut. Temukan dahulu akar masalahnya dan tempatkanlah masalah itu pada tempatnya dengan penuh kebesaran jiwa.
Suami yang shalih hendaknya menapaki jejak Rasulullah Saw. dalam menjalankan kehidupan rumahtangga, agar dapat menentukan sikap yang tepat terhadap berbagai persoalan yang menghadang.
Seorang suami harus mampu memilah permasalahan yang terjadi, apakah masalah itu adalah masalah antarpribadi atau ada hubungannya dengan urusan agama Allah dan hak orang lain? Apabila yang dihadapi adalah masalah antarpribadi (suami istri), maka hendaknya ia bersabar, mudah memaafkan, dan menahan diri. Namun, apabila yang dihadapi adalah masalah yang berhubungan dengan agama Allah, maka marahlah karena Allah dengan tidak melampaui batas.
‘Aisyah Ra. berkata, “Rasulullah Saw. tidak pernah dihadapkan pada dua pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah, sepanjang tidak mengandung dosa. Namun, apabila mengandung dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya (paling takut dengan dosa). Rasulullah Saw. tidak pernah membalas karena masalah pribadi kecuali bila telah menyinggung kehormatan Allah Swt., beliau membalasnya juga karena Allah” (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam sebuah hadits dikisahkan, “Suatu saat terjadi perselisihan antara Rasulullah Saw. dengan ‘Aisyah Ra. hingga perlu perlu mendatangkan Abu Bakar Ra. untuk menjadi penengah bagi keduanya. Rasulullah Saw. berkata kepada ‘Aisyah, ‘Engkau yang akan mengatakan dahulu atau aku yang mengatakannya?’ ‘Aisyah berkata, ‘Katakan saja, tetapi katakan yang benar.’ Maka dipukullah mulut ‘Aisyah Ra. oleh Abu Bakar Ra. hingga berdarah, seraya berkata, ‘Apakah Rasulullah Saw. berkata selain yang benar wahai ‘Aisyah?’ Maka ‘Aisyah pun berlindung di belakang punggung Rasulullah Saw. (Melihat hal itu), Rasulullah Saw. berkata kepada Abu Bakar Ra., ‘Aku tidak mengundangmu untuk melakukan ini (kepada anakmu), dan aku tidak akan melakukan hal demikian.’” (HR Bukhari).
Suatu saat, ‘Aisyah Ra. pernah berkata kepada Rasulullah Saw. dalam keadaan marah, “Engkaukah itu yang mengaku diri sebagai nabi?” Mendengar ucapan itu, Rasulullah Saw. tersenyum dengan penuh kesabaran.
Rasulullah Saw. akan marah bila yang dilukai adalah orang lain. Suatu saat ‘Aisyah berkata kepada Rasulullah Saw., “Engkau mau dengan Shafiyah, padahal dia begini dan begitu?” (Sebagian ulama bekata bahwa yang dimaksud begini dan begitu adalah tubuh yang pendek).
Mendengar hal itu, Beliau Saw. berkata, “(Wahai ‘Aisyah) engkau telah mengatakan satu perkataan yang apabila dicampur dengan air laut, niscaya akan mengeruhkannya” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Kalau seorang istri tidak shalat, terlambat shalat, melukai perasaan orang lain, merasa paling baik, mencela dan merendahkan orang lain, maka pada hal-hal seperti itulah suami harus memarahi istri dengan cara yang tidak berlebihan.

Pemaaf
Sikap memaafkan adalah sikap yang harus didahulukan ketika seorang suami melihat istrinya melakukan kesalahan atau kekeliruan. Rumahtangga yang dipimpin oleh suami yang tidak memiliki jiwa pemaaf akan menimbulkan banyak masalah. Masalah kecil akan berubah menjadi besar. Padahal, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Saw., Allah Swt. telah menakdirkan karakter wanita sebagaimana tulang rusuk yang bengkok.
Jiwa pemaaf dan lapang dada sangat dibutuhkan karena suami bisa saja keliru ketika membenci sesuatu pada istrinya, ternyata yang dibencinya itu justru mengandung kebaikan dan bahkan dibutuhkan pada saat-saat tertentu di luar perhitungannya. Allah Swt. berfirman,
“...Pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan ma’ruf. Maka jika kalian membenci mereka, barangkali sesuatu yang kalian benci itu, Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS An-Nisa: 19).
Jiwa pemaaf dan lapang dada juga dibutuhkan untuk menegakkan keadilan. Para suami tidak semestinya membayangkan para istri memiliki karakter malaikat, tanpa cacat. Ia adalah makhluk Allah yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk menghargai kebaikannya, suami harus toleran terhadap kekurangan istrinya. Jangan hanya melihat satu bagian saja tanpa mau melihat bagian yang lainnya.
Dari Abu Hurairah Ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah seorang Mukmin (suami)  membenci Mukminah (istri). Bila ia membenci terhadap satu bagian, (pasti) ada bagian lain yang menyenangkannya” (HR Muslim).
Suami juga jangan bersikap seperti raja yang hanya mau dilayani, padahal Rasulullah Saw. seringkali menjahit pakaiannya sendiri yang sobek. Beliau Saw. tidak pernah mencela makanan yang dibuat istrinya meski beliau tidak menyukainya.
Dari Abu Hurairah Ra. berkata, “Rasulullah Saw. tidak pernah sama sekali mencela makanan. Bila tertarik, beliau memakannya, dan bila tidak tertarik beliau meninggalkannya” (Muttafaqun ‘alaih).
Dari Jabir Ra., “Suatu hari Rasulullah Saw. meminta lauk pauk kepada para istrinya. Mereka berkata, ‘Kita tidak punya lauk kecuali cuka.’ Maka, cuka itu pun diambil oleh Nabi Saw. dan dimakan sambil berkata, ‘Lauk yang paling lezat adalah cuka, lauk yang paling lezat adalah cuka’” (HR Muslim).
Carilah cara terbaik untuk memperbaiki kesalahan istri. Janganlah membesar-besarkan masalah. Takarlah teguran sesuai dengan kesalahan. Awalilah teguran dengan sindiran, bukan dengan ucapan vulgar. Karena seringkali kata-kata vulgar akan menyakiti perasaannya. Janganlah menegur di hadapan orang lain, meski di hadapan kerabat atau saudaranya. Pilihlah saat yang tepat. Janganlah teguran disampaikan ketika emosi belum mereda. Tundalah hingga pikiran dingin dan jiwa kembali tenang. Jagalah agar teguran tidak sampai melukai hatinya atau menghina perasaanya. Tetapi tunjukkan sikap cinta dan kasih sayang di tengah teguran itu. Dan jauhilah sikap takabur serta tinggi hati. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto