Mengasihi Tetangga

25 Mar 2013



Pak Amir terkejut begitu tiba di rumahnya. Maklum dia bersama keluarganya telah meninggalkan rumahnya selama tiga malam berturut-turut. Pasal keterkejutannya adalah setelah membuka pintu rumahnya Pak Amir mendapatkan seluruh barang-barang elektronik miliknya telah dinaikkan ke atas meja. Begitupun kasur-kasur dan bantal. Sehingga banjir yang melanda rumahnya dua hari lalu, tidak sampai merusak barang-barang elektronik maupun kasur-kasurnya. Setelah berpikir lama, ia memastikan bahwa tetangga sebelah rumahnyalah yang berbuat demikian. Karena hanya tetangga sebelahnya yang kerap dia titipkan kunci cadangan pintu depan rumahnya.
Penggal cerita di atas menyiratkan hubungan yang baik antara Pak Amir dengan para tetangganya. Ternyata rasa kebersamaan yang tumbuh di antara para warga di mana Pak Amir tinggal, telah melahirkan rasa tanggungjawab pemeliharaaan secara bersama. Tanpa dipesan dan diberitahu, tetangga Pak Amir telah berinisiatif menyelamatkan barang-barang berharga milik Pak Amir dari ancaman banjir.
Ini merupakan salah satu buah dari hubungan bertetangga yang terpelihara dengan baik. Suatu sunatullah yang akan tetap berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Siapa yang berbuat baik pada orang lain, pasti dia akan mendapatkan kebaikan pula. Bahkan mungkin kebaikan yang dia dapat, jauh lebih banyak dari apa yang pernah dia lakukan. Bukankah Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula” (QS Ar-Rahman: 60).
Bertetangga adalah bagian kehidupan manusia yang hampir tidak bisa mereka tolak. Manusia toh, bukan semata-mata personal-being (makhluk individu), tapi juga merupakan social-being (makhluk sosial). Seseorang tidak bisa hidup secara sendirian atau menyendiri. Mereka satu sama lain harus selalu bermitra dalam mencapai kebaikan bersama. Ini merupakan hukum sosial. Islam bahkan memerintahkan segenap manusia untuk senantiasa berjamaah dan berlomba dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya Islam melarang manusia bersekutu dalam melakukan dosa dan permusuhan.
Allah Swt. berfirman, “Bertolong-tolonganlah kamu dalam berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya” (QS Al-Maidah: 2).
Dalam menumbuhkan dan mensosialisasikan budaya kebaikan dan taqwa itu, tetangga merupakan objek yang patut didahulukan (setelah anggota keluarga tentunya). Ini hirarki penyebaran kebaikan sebagaimana diarahkan Al-Qur’an.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah barat dan timur itu suatu kebaikan. Akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta” (QS Al-Baqarah: 177).
Bahwa urutan kebaikan menurut ayat di atas adalah, setelah beriman (dalam pengertian menyeluruh), maka urutan berikutnya adalah membangun perilaku sosial yang sehat. Jadi Islam menginginkan budaya kesalehan itu tidak terbatas pada sekup personal (pribadi), tapi juga terciptanya kesalehan secara sosial. Maka, dalam konteks ini hidup rukun dan harmonis dengan tetangga menjadi sangat penting dan wajib.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Syuraih Ra., Nabi Saw. bersabda, “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman.” Seseorang lalu bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya” (HR Bukhari).
Ada hal menarik dari redaksi hadis ini, Rasulullah Saw. bersumpah sampai tiga kali dengan nama Allah dan vonis yang sangat keras "tidak beriman" tatkala beliau mengungkapkan esensi hidup bertetangga. Rasulullah Saw. tidak pernah mengulang-ulang sebuah pernyataan, kecuali pernyatan tersebut menyangkut sesuatu yang penting. Dengan redaksi seperti ini tergambar bahwa hubungan bertetangga menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Menurut Muhammad Abdurrazak Mahili kata “tetangga” dalam hadits ini dapat dinisbatkan pada empat kelompok orang. Pertama, orang yang serumah dengan kita. Kedua, orang yang bersebelahan dengan tempat tinggal kita. Ketiga, penghuni empat puluh rumah dari semua sisi yang ada di sekitar tempat tinggal kita. Keempat, orang yang tinggal senegara dengan kita.
Mengapa Rasulullah Saw. mengajurkan umatnya untuk berbuat baik pada tetangga dan tidak menyakinya sedikit pun? Dalam Islam, akhlak mulia adalah kunci pertama dan utama. Ia adalah bukti keimanan yang harus terwujud dalam kehidupan seorang Muslim. Memuliakan tetangga adalah salah satu di antaranya.
Jadi, memuliakan tetangga adalah perwujudan keimanan dan sebentuk akhlak mulia. Rasulullah Saw. mengungkapkan bahwa Jibril selalu memerintahkannya untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai beliau mengira para tetangga termasuk salah satu ahli waris. Ada kisah pula tentang seorang wanita ahli ibadah, tapi ia divonis oleh Rasul sebagai ahli neraka, lantaran ia selalu menyakiti tetangganya.
Keterangan-keterangan tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa kebaikan tidak sekadar dengan Allah (habluminallah), tapi harus mencakup pula hubungan dengan sesama; tetangga, dalam konteks ini. Karena itu, Rasul Saw. memerintahkan Abu Dzar (dan istrinya) agar saat memasak memperbanyak kuahnya sehingga tetangga dapat ikut merasakannya. Rasul pun menyatakan tidak beriman seseorang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya meringis kelaparan.
Anjuran untuk menghormati tetangga, tentu maknanya amat luas. Menghormati berarti juga tidak menyakiti hatinya, selalu berwajah manis pada tetangga, tidak menceritakan aib tetangga kita, tidak menghina dan melecehkannya, dan tentu juga tidak menelantarkannya jika dia benar-benar butuh pertolongan kita. Rasululullah saw misalnya, melarang kita berbuat gibah (menjelek-jelekkan kehormatan) pada tetangga kita. Seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?” Beliau menjawab, “Engkau menyebut sesuatu yang tidak disukai dari saudaramu" (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Tatkala kita berbuat baik pada tetangga, maka tak jarang apapun akan dilakukan tetangga kita sebagai wujud solidaritas sejati mereka. Mungkin kita pernah dengar cerita, ada orang yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan barang-barang milik tetangganya yang tengah dirampok atau dijarah kawanan maling. Solidaritas yang tulus seorang teman atau tetangga, terkadang sulit dipahami dengan logika. Bahwa sekali saja kita berbuat baik pada orang lain misalnya, maka boleh jadi dia akan berbuat baik berlipat kali dari kebaikan yang pernah kita lakukan kepadanya. Inilah wujud solidaritas sejati yang hanya mungkin lahir dari perbuatan baik yang tulus.
Namun sebaliknya, sekali kita cuek atau tak peduli dengan keadaan tetangga kita, maka jangan harap rumah dan anak-anak kita bakalan dijamin aman dari musibah apapun. Tak jarang sebuah keluarga bingung, tatkala harus meninggalkan rumahnya. Lantaran di rumah ada anak-anak kecil, namun pembantu sedang pulang kampung. Sementara saudara atau orang yang diandalkan bisa menjaga anak-anak mereka, juga tidak ada. Biasanya kasus seperti ini sering dihadapi oleh pasangan suami-istri yang sama-sama aktif di luar. Mereka jadi serba salah. Mau dititipkan ke tetangga tidak berani. Apalagi minta tetangga untuk menjaga anak-anak mereka. Lantaran selama ini pasangan suami-istri itu tidak akrab dengan para tetangga mereka.
Dari sini bisa pahami, betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga. Yang jelas, berbuat baik pada tetangga jauh lebih aman dan lebih murah biayanya ketimbang harus memelihara centeng atau satpam misalnya. Ini kalau kita mau hitung-hitungan dari tinjauan security-cost (anggaran keamanan). Berbuat baik pada tetangga bukan hanya melahirkan rasa sayang dan solidaritas tetangga kita. Lebih dari itu sikap dan perilaku kita yang ramah dan penyantun pada setiap tetangga, akan melahirkan rasa kebersamaan yang kuat. Yakni rasa sama-sama memiliki, rasa sama-sama menjaga, dan rasa sama-sama sepenanggungan terhadap apa yang kita miliki, di antara seluruh anggota warga di mana kita tinggal.
Sebaliknya, sikap tak peduli terhadap tetangga, bukan hanya akan mempersempit dan mempersulit aktifitas kehidupan kita. Namun sikap buruk itu merupakan indikasi tidak berimannya seseorang pada Allah Swt. dan Yaumil Akhir.
Tak heran jika dalam salah sebuah hadist, Rasulullah saw mewanti-wanti, “Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia menghormati tetangganya” (HR Bukhori).
Menyambung hadits di atas, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam salah satu fatwanya mengatakan, “Tidak beriman seseorang yang tidak mengayomi dan memberikan rasa aman pada tetangganya.” Karena tetangga memiliki peran sentral dalam memelihara harta dan kehormatan warga sekitarnya. Dengan demikian seorang Mukmin pada hakikatnya merupakan penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik tetangganya. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto