Oleh: Syamsu Hilal
“(Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka’” (QS Ali Imran [3]: 191).
Menjelaskan ayat ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Shalatlah kalian dalam
keadaan berdiri. Bila tidak mampu, maka shalatlah dalam keadaan duduk. Dan bila
tidak mampu juga, maka shalatlah dalam keadaan berbaring” (HR Bukhari dan
Muslim).
Ayat
dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang urgensi dzikir
(selalu ingat) kepada Allah Swt. dalam keadaan apapun. Karena manusia dalam
kesehariannya selalu berada pada tiga kondisi, yaitu berdiri, duduk, atau
berbaring. Rasulullah Saw. memaknai kata dzikir pada ayat di atas dengan
shalat, karena shalat pada hakikatnya adalah aktivitas dzikir kepada
Allah Swt.
Akan
tetapi, aktivitas dzikir saja tidak cukup untuk mengarungi kehidupan
manusia di alam dunia, karena dzikir hanya bertujuan agar hati manusia
selalu terikat kepada Allah Swt. Sementara rahasia alam semesta harus
dipecahkan dengan sebuah aktivitas lain, yaitu berpikir. Maka Allah Swt.
menyandingkan kata dzikir dengan pikir pada perintahnya sebagaimana
tertera dalam QS Ali Imran ayat 191. Dengan demikian, urgensi berpikir sama
pentingnya dengan dzikir, meskipun dalam aulawiyat-nya
(perioritasnya), dzikir harus lebih didahulukan daripada pikir. Dengan
kata lain, aktivitas pikir harus senantiasa dalam bingkai dzikir kepada
Allah Swt.
Hasan
al-Basri berkata, “Berpikir dan ingat (dzikir) kepada Allah selama satu
jam adalah lebih baik daripada berdiri shalat selama satu malam.” Karena,
tambahnya lagi, “Berpikir untuk merenung ibarat cermin yang menampakkan segala
kebaikan dan keburukanmu.”
Luqmanul
Hakim berkata, “Duduk menyendiri dan berpikir akan melahirkan renungan, dan
renungan adalah ketukan pintu surga.”
Wahab
bin Munabbih berkata, “Tidaklah seseorang berpikir dan merenung melainkan ia
akan mengerti. Dan tidaklah seseorang mengerti melainkan ia mengetahui. Dan
tidaklah seseorang mengetahui melainkan ia akan mengamalkan.”
Bisyir
bin Harits al-Hafi berkata, “Jika manusia mau berpikir dan merenungkan
kebesaran Allah Swt., niscaya mereka tidak akan berani berbuat maksiat
kepada-Nya.”
Demikianlah
pernyataan para salafush shalih tentang pentingnya berpikir dan merenung
setelah dzikir. Berpikir dalam balutan dzikir akan selalu
mengarahkan seseorang kepada hidayah Allah Swt.
Ingatlah
kisah Nabi Ibrahim As. ketika mencari hakikat ketuhanan yang diabadikan oleh
Allah Swt. dalam QS Al-An’am: 76-79. Dalam ayat tersebut, Nabi Ibrahim As.
mengoptimalkan potensi berpikirnya untuk menolak konsep ketuhanan bintang,
bulan, dan matahari yang nisbi, seraya meneguhkan keyakinannya untuk menerima
konsep ketuhanan yang kekal abadi dengan cara menghadapkan dirinya kepada Rabb
Pencipta alam semesta dengan penuh ketundukan. Perpaduan dzikir dan
pikir inilah yang membuat Nabi Ibrahim As. tidak termasuk orang-orang yang
menyekutukan Allah Swt. dan terhindar dari menuhankan bintang, bulan, dan
matahari.
Dalam
kehidupan keseharian, banyak orang menanggalkan dzikir dari proses
berpikir, sehingga hasil pemikirannya tidak mampu medekatkan dirinya kepada
Allah Swt., akan tetapi justru semakin membuatnya jauh dari petunjuk Allah Swt.
Semoga kita termasuk orang yang selalu mewarnai aktivitas pikir dengan dzikir. Wallahu
a’lam bishshawab.
0 comments:
Posting Komentar