Dzikir dan Pikir

15 Agu 2017

Oleh: Syamsu Hilal

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’” (QS Ali Imran [3]: 191).

Menjelaskan ayat ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Shalatlah kalian dalam keadaan berdiri. Bila tidak mampu, maka shalatlah dalam keadaan duduk. Dan bila tidak mampu juga, maka shalatlah dalam keadaan berbaring” (HR Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang urgensi dzikir (selalu ingat) kepada Allah Swt. dalam keadaan apapun. Karena manusia dalam kesehariannya selalu berada pada tiga kondisi, yaitu berdiri, duduk, atau berbaring. Rasulullah Saw. memaknai kata dzikir pada ayat di atas dengan shalat, karena shalat pada hakikatnya adalah aktivitas dzikir kepada Allah Swt.
Akan tetapi, aktivitas dzikir saja tidak cukup untuk mengarungi kehidupan manusia di alam dunia, karena dzikir hanya bertujuan agar hati manusia selalu terikat kepada Allah Swt. Sementara rahasia alam semesta harus dipecahkan dengan sebuah aktivitas lain, yaitu berpikir. Maka Allah Swt. menyandingkan kata dzikir dengan pikir pada perintahnya sebagaimana tertera dalam QS Ali Imran ayat 191. Dengan demikian, urgensi berpikir sama pentingnya dengan dzikir, meskipun dalam aulawiyat-nya (perioritasnya), dzikir harus lebih didahulukan daripada pikir. Dengan kata lain, aktivitas pikir harus senantiasa dalam bingkai dzikir kepada Allah Swt.
Hasan al-Basri berkata, “Berpikir dan ingat (dzikir) kepada Allah selama satu jam adalah lebih baik daripada berdiri shalat selama satu malam.” Karena, tambahnya lagi, “Berpikir untuk merenung ibarat cermin yang menampakkan segala kebaikan dan keburukanmu.”
Luqmanul Hakim berkata, “Duduk menyendiri dan berpikir akan melahirkan renungan, dan renungan adalah ketukan pintu surga.”
Wahab bin Munabbih berkata, “Tidaklah seseorang berpikir dan merenung melainkan ia akan mengerti. Dan tidaklah seseorang mengerti melainkan ia mengetahui. Dan tidaklah seseorang mengetahui melainkan ia akan mengamalkan.”
Bisyir bin Harits al-Hafi berkata, “Jika manusia mau berpikir dan merenungkan kebesaran Allah Swt., niscaya mereka tidak akan berani berbuat maksiat kepada-Nya.”
Demikianlah pernyataan para salafush shalih tentang pentingnya berpikir dan merenung setelah dzikir. Berpikir dalam balutan dzikir akan selalu mengarahkan seseorang kepada hidayah Allah Swt.
Ingatlah kisah Nabi Ibrahim As. ketika mencari hakikat ketuhanan yang diabadikan oleh Allah Swt. dalam QS Al-An’am: 76-79. Dalam ayat tersebut, Nabi Ibrahim As. mengoptimalkan potensi berpikirnya untuk menolak konsep ketuhanan bintang, bulan, dan matahari yang nisbi, seraya meneguhkan keyakinannya untuk menerima konsep ketuhanan yang kekal abadi dengan cara menghadapkan dirinya kepada Rabb Pencipta alam semesta dengan penuh ketundukan. Perpaduan dzikir dan pikir inilah yang membuat Nabi Ibrahim As. tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. dan terhindar dari menuhankan bintang, bulan, dan matahari.
Dalam kehidupan keseharian, banyak orang menanggalkan dzikir dari proses berpikir, sehingga hasil pemikirannya tidak mampu medekatkan dirinya kepada Allah Swt., akan tetapi justru semakin membuatnya jauh dari petunjuk Allah Swt. Semoga kita termasuk orang yang selalu mewarnai aktivitas pikir dengan dzikir. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto