Agar Tidak Muncul Su'uzh-zhan

4 Sep 2011

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hujurat: 12).



          Ali bin Husain Ra. meriwayatkan, Shafiyah binti Huyai bin Akhtab memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah beri’tikaf di sebuah masjid. Shafiyah berkata, “Aku mendatangi Nabi Saw. dan berbicara kepadanya. Sore harinya, aku kembali lagi, lalu Nabi Saw. berjalan bersamaku. Di tengah jalan kami berpapasan dengan dua lelaki Anshar seraya mengucapkan salam, dan kedua lelaki it uterus berjalan. Tetapi Rasulullah Saw. memanggil keduanya dan berkata, “Sesungguhnya dia adalah Shafiyah binti Huyai.”


          Kedua lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak berprasangka kepadamu, kecuali kebaikan.” Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya syetan mengalir pada peredaran darah tubuh anak Adam dan sesungguhnya aku khawatir syetan akan masuk pada kalian bedua (HR Bukhari dan Muslim). 


          Dalam riwayat lain ditambahkan, Rasulullah Saw. dan istrinya berkata, “Sesungguhnya aku khawatir bahwa ke dalam hati Anda berdua dilemparkan sesuatu.” Lalu Nabi Saw. berkata, “Sebentar, sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah (istriku)” (HR Bukhari dan Muslim).

 
          Dalam kisah lain, Umar bin Khaththab Ra. melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara dengan seorang wanita di pinggir jalan. Umar lalu meneriaki kedua orang itu dengan kata-kata yang mengarah kepada perbuatan keji. Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia itu adalah istriku.” Umar ra. lalu berkata, “Kalau begitu, mengapa kalian tidak mencari tempat yang tidak dilihat banyak orang?”

 
          Umar Ra. menambahkan, Siapa menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, maka jangan mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya” (Said Hawwa, Mensucikan Jiwa, hal. 565). 


          Dua kisah di atas sesungguhnya adalah dua peristiwa yang sama, tetapi mengandung hikmah yang berbeda. Hikmah pada kisah pertama adalah bahwa setiap Muslim haruslah mengedepankan sikap husnuzh zhan (berbaik sangka) kepada sesama Muslim lainnya, selama yang dilakukan Muslim tersebut bukanlah pekerjaan yang telah disepakati sebagai perbuatan maksiat. 


          Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” (QS Al-Hujurat: 12).

 
          Sedangkan hikmah dari kisah yang kedua adalah bahwa setiap Muslim harus hati-hati dengan sikap atau perilakunya, terutama yang dapat mengundang su`uzh zhan dari Muslim lainnya. Setiap Muslim harus pandai-pandai menempatkan diri pada posisi yang tidak mengotori kebersihan dirinya sebagai orang beriman.


          Oleh karena itu, Rasulullah Saw. menyuruh kita agar selektif dalam mencari tempat dan teman bergaul. Karena, setiap orang tidak memiliki pandangan yang sama, meskipun orang tersebut dikenal wara`, alim, dan baik akhlaknya. Sebagian orang memandangnya baik, sebagian lagi mungkin membencinya. Seorang panyair berkata, “Mata keridhaan buta terhadap setiap aib. Tetapi mata kebencian menampakkan segala keburukan.”

 
          Pada kisah pertama, Rasulullah Saw. mengingatkan setiap Muslim agar selalu mengembangkan dan mengedepankan sikap husnuzhzhan kepada Muslim lainnya, sementara pada saat yang sama, Umar bin Kaththab Ra. mengingatkan kita agar tidak menempatkan diri pada posisi “tertuduh”, yang membuat orang lain su`uzhzhan kepada kita. Kedua kisah di atas ternyata bermuara pada satu langkah preventif, yaitu menjaga hati agar tetap bersih.

 
          Di abad yang dikatakan modern seperti sekarang ini, interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat boleh dikatakan sangat kompleks dan multidimensi. Frekuensi kontak sosial begitu intensif dalam spektrum yang amat luas. Ini adalah lahan subur bagi munculnya berbagai penyakit hati. Konflik-konflik sosial, baik antarindividu maupun antarlembaga seringkali berawal dari ketidakmampuan kita menata pola interaksi tersebut.

 
          Untuk menahan laju pertumbuhan berbagai penyakit hati tersebut, Rasulullah Saw. memberikan resep singkat kepada kita, yaitu memfungsikan diri kita, setiap Muslim, sebagai da’i ilallah (juru dakwah di jalan Allah) kapan dan di mana pun kita berada. Beliau Saw. bersabda, “Ballighu ‘anni walau aayah”. Sampaikan olehmu (apa-apa yang didapat dariku) meskipun hanya satu ayat.


          Mengomentari hadits ini, Imam Syahid Hasan al-Banna pernah berkata, “Nahnu du’at qabla kulli syai`i.” Kita adalah da’i sebelum segala sesuatu. Maksudnya, profesi utama yang melekat pada setiap Muslim adalah sebagai da’i (juru dakwah) sebelum profesi yang lainnya. Jadi, kalau saat ini kita berprofesi sebagai seorang dokter, maka komunikasi kita dengan pasien tidak boleh meninggalkan tugas asasi kita sebagai seorang da’i. Saran-saran yang kita sampaikan kepada pasien tentang berbagai penyakit senantiasa harus dikaitkan dengan kebesaran Allah Swt. yang Maha Menyembuhkan semua penyakit. Dengan cara ini, pendekatan diagnosa yang dilakukan selaras dengan syariat Allah Swt.


          Seorang Muslim harus mampu mengarahkan dan mengubah segala bentuk komunikasinya dengan masyarakat menjadi komunikasi dakwah. Interaksi sosial yang dilakukannya dengan berbagai lapisan masyarakat harus diniatkan sebagai perluasan ladang dakwah.

 
          Dalam ranah politik misalnya, seorang politikus Muslim, apa pun partai politiknya, seharusnya mampu menggiring komunikasi politiknya menjadi komunikasi dakwah. Kontak-kontak politik antarpribadi maupun antarfraksi di legislatif dan antarmenteri di eksekutif harus diubah menjadi komunikasi yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Kalau tidak, maka segala tindak-tanduknya akan mengundang kecurigaan (su`uzhzhan) dari Muslim lainnya. Seolah-olah dia hanya memanfaatkan momentum politik untuk memenuhi kepentingan pribadinya saja. Apalagi, lapangan politik merupakan lapangan yang panas, mudah terbakar, dan penuh intrik. Dalam banyak kasus apa yang ada di permukaan seringkali tidak sama dengan yang sesungguhnya.

 
          Begitu pula di bidang ekonomi. Para ahli dan praktisi ekonomi Muslim hendaknya mengorientasikan semua komunikasi ekonominya ke arah komunikasi dakwah. Lobi-lobi ekonomi dan bisnis haruslah dikhidmatkan untuk kejayaan Islam.

 
          Di bidang seni dan budaya, para seniman dan budayawan Muslim perlu meniru komunikasi seni budaya yang dikembangkan oleh Wali Songo, meski uslub (pendekatan) yang digunakan disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang berkembang di masyarakat. Kedekatan seorang Muslim dengan kehidupan para selebritis misalnya, harus mampu menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah dalam rangka mendakwahi mereka. Sehingga diharapkan kesenian dan kebudayaan tidak disimpangkan atau diselewengkan ke arah kemaksiatan.

 
          Kalau setiap Muslim dengan berbagai spesialisasinya mengarahkan semua komunikasinya menjadi komunikasi dakwah, selalu menyertakan Allah Swt. di dalam setiap kebijakan dan langkahnya, maka insya Allah, kesempurnaan Islam akan dapat dilihat dan dirasakan oleh umat manusia secara keseluruhan. Melalui cara inilah Islam Rahmatan lil ‘alamin akan dapat direalisasikan.

          Sekarang ini kita menyaksikan hampir sebagian besar tokoh politik di Indonesia menggunakan pendekatan politik kekuasaan dan politik uang. Kalau tidak mendapatkan kekuasaan, uang pun cukup. Cara-cara seperti ini akan mendorong seseorang mengambil langkah-langkah Machiaveli yang menghalalkan segala cara. Hukum Allah selalu dinomorduakan, bahkan tidak dijadikan pertimbangan atas kebijakan-kebijakan dan langkah-langkahnya. Semboyan mereka adalah politik untuk politik, seni untuk seni, bisnis untuk bisnis, dan seterusnya. Akibatnya, kehidupan ini menjadi kering dari nilai-nilai ruhiyah.

 
          Padahal kita mengetahui bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt. dari dua unsur, yaitu jasad dan ruh. Maka, sangat tidak mungkin akan tercipta sebuah kehidupan yang nyaman, aman, dan damai manakala kehidupan itu sendiri tidak dibangun di atas nilai-nilai jasadiyah dan ruhiyah. Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto