Pemimpin Reformis dan Pemimpin Selebritis

6 Sep 2011


Memilih pemimpin memang bukanlah pekerjaan sederhana. Ada yang mengatakan, memilih pemimpin hampir sama dengan memilih jambu air. Luarnya tampak mulus, tapi dalamnya kadang penuh ulat. Setidaknya pernyataan itu bisa dianggap benar bagi orang-orang yang tidak menggunakan kacamata Al-Qur`an untuk menilai calon pemimpinnya. Mereka mudah ditipu dengan asesoris, kedok, dan kamuflase yang dilakukan calon pemimpin untuk menutupi borok-boroknya. Akan tetapi, bagi orang yang senantiasa diterangi cahaya Al-Qur`an, sepak terjang calon pemimpin yang korup, cacat moral, dan tidak mengutamakan kepentingan rakyat, akan terasa lucu dan menggelikan.

Calon-calon pemimpin yang lebih mengutamakan asesoris ketimbang substansi, popularitas daripada prestasi, dan tergantung pada media massa daripada mengandalkan potensi diri, tak ubahnya seperti para selebritis. Hal ini dikatakan oleh Daniel Boorstin, pakar manajemen kepemimpinan, “Dunia saat ini memiliki banyak pemimpin, tapi mereka berada di bawah bayang-bayang selebritis. Pemimpin dikenal karena prestasinya, sementara selebritis dikenal lantaran ketenarannya. Pemimpin mencerminkan hakikat-hakikat manusia, sedang selebritis mencermintkan kemungkinan-kemungkinan pers dan media massa. Kaum selebritis adalah orang-orang yang membuat berita, tetapi para pemimpin adalah orang-orang yang membuat sejarah (Majalah Parade, 6 Agustus 1995)ز

Al-Qur`an membuat pembedaan yang amat tegas antara pemimpin yang konstruktif dengan pemimpin yang destruktif. Pemimpin yang konstruktif adalah pemimpin yang bukan saja memperhatikan nasib rakyatnya di dunia, tapi lebih dari itu, ia juga memperhatikan nasib umatnya di akhirat kelak. Allah Swt. Berfirman,

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” (QS As-Sajadah: 24).

Sebaliknya pemimpin destruktif adalah pemimpin yang bukan saja menyengsarakan rakyatnya ketika di dunia, akan tetapi lebih dari itu mereka menyesatkan rakyatnya dan menjerumuskan rakyatnya ke neraka jahannam.

“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong” (QS Al-Qashash: 41).

Kita tidak perlu menyebutkan satu per satu pemimpin yang ada di dunia ini yang menyeru rakyatnya untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini, menindas umat lain, dan menjadi pelopor gerakan kemaksiatan yang bersifat global.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menyadarkan umat ini untuk tidak memilih pemimpin yang akan merugikan diri kita sendiri. Kita yakin bahwa rakyat Indonesia tidak sudi dipimpin oleh orang-orang oportunis yang hanya menginginkan keuntungan untuk diri dan kelompoknya sendiri. Rakyat juga tidak rela dipimpin oleh para preman yang hanya mengandalkan kekuatan otot untuk menakut-nakuti rakyatnya sendiri.

Namun demikian, karena jaring angan-angan dan bius duniawi telah lama menjangkiti bangsa ini, maka rakyat seringkali tertipu oleh asesoris yang mereka kenakan. Rakyat terpedaya oleh sihir yang membutakan mata hati mereka, sehingga mereka tidak bisa membedakan mana pemimpin reformis, mana pemimpin selebritis.

Allah Swt. melarang umat Islam untuk memilih pemimpin yang bukan berasal dari kalangan Islam sendiri, meskipun tampak luarnya baik dan sangat toleran kepada Islam dan umat Islam. Pada kenyataannya, di negara-negara dimana umat Islam minoritas, hak-hak asasi umat Islam dibelenggu. Di Perancis wanita muslimah dilarang berjilbab. Padahal jilbab adalah bagian tak terpisahkan dari sistem peribadatan Islam. Allah Swt. Berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS Al-Maidah: 51).

Allah Swt. juga melarang kita memilih pemimpin yang menjadikan hukum Islam sebagai bahan tertawaan, permainan, dan barang dagangan belaka, meskipun pemimpin itu beragama Islam. Tidak sedikit kelompok yang menjadikan Islam sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan duniawi. Padahal Islam seharusnya dijadikan sebagai petunjuk hidup, norma ucap, dan norma sikap. Firman Allah Swt,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS Al-Maidah: 57).

Bahkan Allah Swt. melarang mengangkat kerabat, saudara, dan orangtua sebagai pemimpin sekiranya mereka lebih mengutamakan kakafiran daripada keimanan, lebih menyukai keridhaan orang-orang kafir ketimbang keridhaan kaum muslimin. Firman Allah Swt.,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS At-Taubah: 23).

Salah satu pemimpin reformis yang pernah dilahirkan Islam adalah Umar bin Abdul Aziz (61 – 101 H), cucu Umar bin Khattab. Ketika diangkat menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz baru berusia 37 tahun. Meski masih muda, tetapi beliau memiliki sikap dewasa, cerdas, dan bijaksana. Langkah pertama yang diambil Umar bin Abdul Aziz adalah mendobrak tradisi Jahiliyah yang ada di tengah-tengah masyarakat, seperti bermewah-mewahan dan mengumbar hawa nafsu.

Tindakan berikutnya adalah menghapus segala hak istimewa yang dimiliki keluarganya sebagai keturunan Khalifah Umar bin Khattab. Seluruh kekayaannya dan kekayaan keluarganya dikembalikan ke Baitul Maal. Sedangkan kekayaan para pejabat dan konglomerat yang diperoleh melalui jalan batil dikembalikan kepada yang berhak.

Dengan kebijakannya itu, penghasilan beliau yang semula 50.000 dinar anjlok menjadi 200 dinar. Tidak sekedar itu, Umar bin Abdul Aziz juga mengharamkan kekayaan Baitul Maal untuk diri dan keluarganya. Bahkan ia tak mau menerima tunjangan jabatan sebagai Khalifah, meski hal itu halal baginya.

Dalam waktu lebih kurang dua setengah tahun, kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz telah mampu mengubah orientasi kehidupan rakyatnya, dari yang tadinya materialistik menjadi berorientasi akhirat. Beliau mendorong kaum cerdik pandai untuk mendalami Ilmu-ilmu Islam. Maka lahirlah ulama-ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.

Inilah potret dari firman Allah Swt. dalam QS Al-Hajj: 41. Potret seorang pemimpin yang amanah dan menjalankan misinya sebagai khalifah Allah Swt. di muka bumi.

Dikisahkan, pada masa Khalifah Al-Walid, tema pembicaraan masyarakat berkisar pada masalah harta dan kemewahan hidup. Dan ketika kekuasaan beralih ke tangan Sulaiman bin Abdul Malik tema pembicaraan masyarakat beralih kepada masalah wanita dan seks. Tetapi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz bila seseorang bertemu dengan temannya, yang ditanyakan adalah “Apa yang anda pelajari malam tadi? Berapa ayat atau berapa juz Al-Quran yang sudah anda hafal? Berapa hari anda melakukan puasa bulan ini?” Subhanallah. Kapan pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz lahir di tengah-tengah kita? Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto