Etika Pergaulan

9 Sep 2011

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat: 13).





Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa selain mengemban misi ibadah (QS Adz-Dzariyat: 56) dan misi isti’marul ardh (QS Hud: 61), tujuan penciptaan manusia juga untuk mengemban misi sosial (lita’aarafu bainal insaan). Sengaja Allah Swt. menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, agar satu sama lain melakukan interaksi sosial, membangun silaturahim (persahabatan dan persaudaraan), dan melakukan kerjasama antarsuku dan atau antarbangsa. Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tak ada dapat hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya.

Menurut Kimball Young dan Raymond (1959), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interkasi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, 1954).

Di dalam Al-Qur`an al-Karim, Allah Swt. bahkan mengintegrasikan misi sosial ke dalam misi ibadah. Interaksi sosial, dalam arti dakwah (tadzkirah), menjadi prasyarat dan penyempurna bagi pelaksanaan misi ibadah. Simaklah firman Allah Swt.

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzariyat: 55-56).

Ayat ini menegaskan bahwa misi ibadah akan sulit dilaksanakan tanpa adanya aktifitas dakwah, yaitu tadzkirah (saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan) di antara sesama manusia. Banyak aktifitas ibadah yang tidak bisa atau kurang sempurna bila dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Misalkan shalat Jum’at dan shalat berjamaah. Begitu pula dengan pelaksanaan shaum (puasa) di bulan Ramadhan akan terasa berat bila tidak dilakukan secara serempak (berjamaah). Belum lagi pelaksanaan hudud dan jinayah (hukum pidana) tak bisa dilakukan tanpa adanya kesepakatan di antara umat Islam untuk melaksanakan hukum tersebut.

Oleh karena itu, Allah Swt. menegaskan bahwa sebelum melaksanakan misi ibadah dalam arti luas, kita diperintahkan untuk melakukan misi sosial (interaksi sosial) dalam bentuk dakwah. Dalam terminologi dakwah, interaksi sosial pada hakikatnya adalah dakwah itu sendiri.

Setiap interaksi sosial selalu menimbulkan dampak baik atau buruk, suka atau tidak suka, diterima (accepted) atau ditolak (rejected). Karena pada hakikatnya interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi di antara manusia. Seperti dikatakan Bonner dalam bukunya Social Psychology (1953), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.

Bagi seorang Muslim, interaksi sosial kurang bermakna bila tidak menghasilkan interaksi dakwah. Oleh karena itu, Islam mengatur tentang hubungan antara orangtua dengan anak, suami dengan istri, yang lebih tua dengan yang lebih muda, hubungan bertetangga, hubungan kekerabatan, hubungan sesama Muslim, hubungan Muslim dengan non-Muslim, ulama dengan umara (pemerintah), pemerintah dengan rakyat, dan sebagainya. Semua itu diatur agar tercapai sebuah keharmonisan hidup. Sehingga kehidupan yang penuh ujian dan fitnah bila diatur oleh nilai-nilai Islam, maka akan menghasilkan kehidupan yang lebih bermakna.

Setiap orang yang melakukan interaksi sosial, terikat dengan etika pergaulan sesuai dengan kadar dan ikatan pergaulan tersebut. Ikatan itu bisa berupa kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan, pertemanan, kolega, atau sahabat pena.

Setiap orang tentu memiliki kekerabatan yang bertingkat-tingkat. Kekerabatan memiliki hak, akan tetapi hak kerabat mahram (orang yang haram dinikahi sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa`: 23) lebih kuat. Mahram punya hak, akan tetapi hak kedua orangtua lebih kuat. Demikian pula hak tetangga, berbeda-beda sesuai dengan jauh dan dekatnya rumah. Begitu pula dengan kenalan atau pertemanan. Hak orang yang dikenal dengan cara bertemu langsung tidak sama dengan teman yang dikenal lewat telepon, surat, atau chating.

Secara garis besar, Dr. Said bin Muhammad Daib Hawwa yang lebih dikenal dengan Syeikh Said Hawwa dalam kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus memaparkan tentang etika interaksi sosial atau etika pergaulan. Beliau mengatakan, “Bila anda menginginkan interaksi sosial yang baik, maka hadapilah teman dan orang-orang yang membenci anda dengan wajah ridha tanpa menghinakan diri dan takut kepada mereka, menghormati tanpa sombong, dan tawadhu tanpa kehinaan.”

Beliau menambahkan, bila anda berada di hadapan orang, janganlah menarik-narik jenggot, jangan memasukkan jari ke lubang hidung, dan jangan banyak menguap. Duduklah dengan tenang, berbicaralah dengan teratur dan dengarlah pembicaraan orang lain dengan baik tanpa menampakkan kekaguman yang berlebihan. Diamlah terhadap hal-hal yang mengundang tawa. Janganlah anda berbicara tentang kekaguman anda kepada anak anda, pembantu anda, tulisan anda, dan semua urusan pribadi anda.

Buatlah mereka segan tanpa kekerasan. Bersikaplah lemah-lembut tanpa rasa lemah. Janganlah anda terlalu banyak bercanda dengan bawahan dan pembantu anda. Jika marah, hendaklah anda tetap menghargai dan menjaga diri dari berbuat kebodohan dan menjauhi ketergesaan. Berbicaralah jika kemarahan anda telah reda.

Bila memasuki sebuah majelis, berilah salam terlebih dahulu, tidak melangkahi orang yang telah duduk terlebih dahulu. Duduklah di tempat yang kosong, bersikap tawadhu, dan mengucapkan salam kepada orang yang paling dekat duduknya dengan anda.

Janganlah anda duduk di (pinggir) jalan. Jika anda duduk di (pinggir) jalan, maka adabnya adalah menundukkan pandangan, membela orang yang teraniaya, menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu orang yang lemah, membimbing orang yang tersesat, menjawab salam, memberi orang yang meminta, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, tidak meludah ke arah kiblat atau ke sebelah kanan anda.

Jika anda  bergaul dengan para penguasa (pejabat), janganlah menggunjing, jangan berdusta, menjaga rahasia, mempersedikit keperluan, menghaluskan bahasa dan ungkapan, mengkaji akhlak para raja, tidak berambisi di hadapan mereka, dan tidak bertusuk gigi setelah makan di sisi mereka.

Bila anda bergaul dengan orang awam, hendaknya tidak melibatkan diri terlalu jauh dengan pembicaraan mereka, melupakan ungkapan-ungkapan buruk mereka. Janganlah anda mencandai orang pintar atau orang bodoh. Karena orang pintar akan mendengkimu, sedangkan orang bodoh akan berani kepadamu. Senda gurau akan mengurangi wibawa, menjatuhkan air muka, menimbulkan kedengkian, menghilangkan kasih sayang, menjatuhkan kedudukan di hadapan orang bijak, dan tidak disukai orang-orang bertaqwa. Senda gurau juga bisa mematikan hati, menjauhkan diri dari Allah, menyebabkan kelalaian, mengakibatkan kehinaan, mematikan imajinasi, memperbanyak aib dan dosa. Senda gurau bersumber dari kesombongan dan kurang akal. Demikian, nasehat Said Hawwa.

Setiap Muslim, apalagi juru dakwah, dituntut untuk bijak dalam menata pergaulannya. Di satu sisi, dalam mengemban misi dakwahnya, ia harus membuka kontak sosial seluas-luasnya dan bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, ia harus tetap menjaga kelebihan dan keistimewaan dirinya sebagai seorang Muslim. Untuk melakonkan peran demikian, para ulama dakwah membuat prinsip, "nakhtalithuun walaakin natamayyazuun" (membaur tetapi tidak melebur). Mewarnai, tetapi tidak diwarnai. Mempengaruhi, tetapi tidak dipengaruhi.

Perinsip ini diajarkan oleh Rasulullah Saw. Aisyah ra. menceritakan, seorang lelaki meminta izin bertemu Rasulullah Saw. Beliau mengizinkannya sambil berkata, "Seburuk-buruk teman adalah dia". Akan tetapi, setelah orang itu masuk, Rasulullah Saw. memperlakukannya dengan sopan dan lemah lembut, bahkan menghormatinya. Setelah lelaki tersebut keluar, Aisyah ra. berkata, "Ketika orang itu akan masuk engkau memburukkannya. Tetapi engkau menerimanya dengan penuh penghormatan." Nabi Saw. lalu bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia lantaran menghindari keburukannya" (HR Bukhari dan Muslim).

Akan tetapi Umar ra. mengingatkan kita agar tidak terlalu longgar dalam pergaulan, agar tidak mengundang fitnah atau su`uzhzhan dari orang lain. Beliau berkata, "Siapa yang menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, janganlah mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya."

Sebuah atsar menyebutkan, "Akrabilah manusia dengan amal perbuatan kalian, dan jauhilah mereka dengan hatimu." Wallahu a'lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2004).

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto