Hati (qalb) manusia itu ibarat lahan tempat bertanam, dan jiwa (nafs)
adalah petaninya. Setiap petani bebas menanam apa saja yang disukai dan
menguntungkan di lahan miliknya. Dia bebas menentukan pupuk apa yang
akan digunakan agar tanaman tumbuh subur. Bersamaan dengan itu, dia juga
bebas menggunaan pestisida apa saja untuk menjaga tanamannya dari
gangguan hama dan penyakit.
Demikianlah
tamsil manusia dengan amalnya. Sejak lahir, di dalam setiap jiwa
manusia, Allah Swt. menyimpan dua benih, yaitu benih fujur (kefasikan) dan benih taqwa (kebaikan). Hal ini ditegaskan Allah Swt. dalam QS Asy-Syams: 8-10, “maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah
orang yang mengotorinya.”
Petani cerdas tentu saja akan menanam benih taqwa di lahan kalbunya dan membiarkan benih fujur tumbuh kerdil dan merana. Dia akan memupuk benih taqwa itu dengan Al-Qur`an dan Sunnah sebagai hara utama. Lalu menyiraminya dengan air hikmah, berupa ucapan dan perilaku para salafush shalih. Bersamaan dengan itu, dia juga berusaha menjauhi segala bentuk maksiat agar tanaman terhindar dari hama dan penyakit. “Dan tanah yang subur, tanamannya tumbuh baik dengan izin Allah, sebaliknya tanah yang gesang tanamannya tumbuh kerdil...” (QS Al-A’raf: 58).
Tanaman seperti inilah yang diumpamakan oleh Allah Swt. dalam QS Ibrahim: 24-25, “Tidakkah
engkau perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang
ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin
Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya
mereka selalu ingat.”
Betapa
indah pohon taqwa Rasulullah Saw. Banyak orang melemparinya dengan
batu, cacian, dan berbagai fitnah, tapi beliau selalu membalasnya dengan
buah senyum dan kasih sayang. Begitu pula dengan pohon taqwa Abu Bakar,
Umar, Ustman, Ali, dan para sahabat lainnya yang selalu berbuah akhlaqul karimah.
Mereka, generasi pertama Islam yang selalu menjadikan Al-Qur`an dan
Sunnah sebagai referensi utama, hingga ‘Aisyah Ra. menyebut akhlak
Rasulullah Saw. sebagai khuluquhul Qur`an (akhlak Rasulullah
adalah Al-Qur`an). Bahkan Rasul Saw. pernah marah melihat Umar Ra.
membawa lembaran-lembaran Taurat. “Demi Allah, andai saja Musa As. hidup
di belakang kalian, pastilah tak ada yang dilakukannya kecuali ia akan
mengikuti ajaranku,” tegur beliau.
Bagimana
dengan generasi Islam saat ini, apa yang menjadi referensi utama mereka
dalam berucap dan bertindak? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh
para orang tua dan pemimpin Islam saat ini. Wallahu a’lam. (Syamsu Hilal).
Dimuat di Rubrik Hikmah Republika (16 Juli 2010)
0 comments:
Posting Komentar