Prioritas Cinta

9 Sep 2011

“Katakanlah, ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24).



“Allahumma, innaka ta’lam, ya Rabbi, ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu betapa aku sedang dalam kebimbangan. Aku menyayangi istriku dan takut melukai hatinya. Ia sedang sakit berat, padahal tak lama lagi ia harus mengahadapi tugas suci yang berat. Ia akan melahirkan. Aku tak sampai hati meninggalkannya. Tapi sesungguhnya Engkau pun tahu juga ya Allah, betapa panggilan jihad itu bergema di telingaku. Membuat gundah hatiku. Aku senantiasa rindu untuk ikut berjihad bersama Rasulullah Saw. Selama ini jika ia pergi keluar untuk berjihad, aku senantiasa ikut bersamanya. Dan jika ia pulang aku pun ikut di sisinya. Ya Allah, Engkau tahu betapa berat hatiku menghadapi pilihan ini ...”

Abu Thalhah berdoa setengah merintih di atas tikar shalatnya memohon petunjuk Allah Swt. Ia benar-benar gundah. Ia harus memilih satu dari dua pilihan yang sama beratnya, sama berartinya dalam hidupnya. Ia sangat mencintai istrinya dan tak ingin meninggalkannya dalam keadaan sakit keras. Akan tetapi, ia pun sangat mencintai jihad ketika jihad itu memanggilnya. Semua kegundahannya itu diadukannya kepada Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim.

Rintihan dan doa Abu Thalhah didengar istrinya, Ummu Salamah, yang tengah terbaring sakit. Kiranya, kekuatan dari Allah jualah yang membangkitkannya dari sakitnya. Ia tak mau suaminya terjebak dalam situasi dilematis. Seorang Mukmin tak boleh berlama-lama berada dalam situasi yang dilematis. Betapapun beratnya keadaan yang dihadapi, ia tetap harus memilih Allah, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya sebagai prioritas utamanya. (QS At-Taubah: 24).

Ummu Salamah merasa berdosa telah menyebabkan suaminya berada dalam keraguan untuk pergi berjihad. Maka, dengan tegar, bangkitlah ia dari tempat tidurnya dan berkata dengan lembut sambil tersenyum, “Ya Abu Thalhah, sesungguhnya aku ini tidak sakit lagi. Mari kita berangkat.” Ummu Salamah melupakan sakit yang dideritanya.

Maka berangkatlah Ummu Salamah bersama suaminya ke medan jihad. Kekuatan iman, ketabahan, dan ketegaran hatinya mengalahkan kelemahan fisiknya karena sakit. Di Madinah, ia melahirkan anak dengan selamat. Itulah Ummu Salamah atau dikenal juga dengan Ummu Sulaim atau juga Ummu Thalhah.

Kepentingan pribadinya, yakni keinginan bermanja-manja dirawat oleh suaminya dalam keadaan sakit dikalahkannya untuk memenuhi seruan jihad. Ia menolong suaminya agar tetap memprioritaskan Allah dan Rasul_nya dalam cintanya. Ia ingin agar kadar cinta terbesar tetap diberikan kepada Allah Swt., Rasul-Nya, dan berjida di jalan-Nya. Ia tak ingin menjadi penghalang bagi suaminya untuk memberikan prioritas cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemuliaan Ummu Salamah untuk tetap mengutamakan kecintaan kepada Allah Swt. ditunjukkan dalam sisi hidupnya yang lain. Ketika itu, anak yang dicintainya meninggal dunia. Sementara, suaminya, Abu Thalhah tengah menunaikan panggilan jihad. Ummu Salamah tak ingin membuyarkan konsentrasi suaminya dalam berjihad, sehingga ia tak segera mengabarkan kematian anaknya. Ketika suaminya pulang, lagi-lagi ia pun tak langsung mengabarkan kematian anaknya. Dilayaninya dulu suaminya yang dalam kondisi lelah. Setelah makan, minum, dan berhubungan suami istri, barulah Ummu Salamah memberitahukan tentang kematian anak kesayangannya itu. Abu Thalhah marah, lantaran tak segera diberi tahu. Maka Abu Thalhah mengadukan masalah itu kepada Rasullah Saw. Ternyata Rasulullah Saw. membenarkan tindakan Ummu Salamah dan mendoakan agar hubungan suami istri yang mereka lakukan malam itu dapat segera membuahkan anak.

Ummu Salamah adalah seorang wanita yang senantiasa rindu untuk melakukan pengorbanan. Ia justru merasa resah dan gundah jika tak mendapat kesempatan untuk berkorban. Ia pernah mengalami kerinduan yang sangat untuk pergi hijrah. Betapapun hijrah saat itu sangat sulit, berat, dan mengalami banyak hambatan. Tetapi, karena pada waktu itu hijrah merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Mukmin, maka Ummu Salamah pun sangat rindu untuk melaksanakannya. Sampai-sampai ia sering menangis selama setahun di tempat ia tertunda untuk berhijrah.

Ummu Salamah juga merupakan teladan bagi wanita yang merindukah jihad. Bahkan dalam kondisi tertentu ia turut dalam berbagai peperangan. Ia terkenal dengan julukan ‘Thoinah’ (wanita penikam), yang banyak menikam musuh-musuh Allah dengan pisau belatinya.

Selain itu, Ummu Salamah juga dikenal sebagai wanita yang bersih (thahirah). Orang yang mengenalnya sebagai sosok pribadi Muslim yang memegang teguh prinsip-prinsip keislamannya. Sehingga Usman bin Thalhah yang saat itu masih kafir tidak berani menyentuh tangannya untuk menurunkannya dari unta saat menolongnya pergi berhijrah.

Ia juga seorang wanita cantik (jamilah) yang cerdas (dzakkah). Aisyah pernah cemburu karena semua orang mengatakan Ummu Salamah cantik. Kecerdasannya terlihat dari kecepatan berpikirnya untuk memecahkan masalah yang sulit sekalipun. Dalam peristiwa Hudaibiyah, ketika Rasulullah Saw. mengalami kesulitan karena semua sahabat dan Mukmin saat itu tak mau menaati perintah Rasulullah Saw. untuk memotong hewan kurban dan bercukur. Dalam situasi yang pelik seperti itu, Ummu Salamah menyampaikan ide cemerlangnya. “Engkau ya Rasulullah yang menyembelih kambing kurban dan bercukur terlebih dulu.” Dan benarlah, setelah Rasulullah Saw. melakukan itu, para sahabat dan kaum Muslimin mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.

Ummu Salamah adalah wanita yang penuh cinta, namun dapat menjadi garang di medan jihad. Suaminya adalah orang yang utama di sisi Rasulullah, yang selalu menjadi wakil Rasulullah jika beliau hendak keluar Madinah. Ia jugalah yang ketika wafat dishalatkan dengan sembilan kali takbir. Ketika sahabat menegur lantaran takut Rasulullah lupa, dijawab oleh Rasulullah Saw. bahwa 1000 kali takbir pun masih pantas untuk Abu Thalhah.

Keutamaan Ummu Salamah jugalah yang menyebabkannya mendapat ganti suami yang mulia, yaitu Rasulullah Saw. Kisah Ummu Salamah dilamar oleh Rasulullah Saw. sangat menarik. Ketika Abu Thalhah wafat, Ummu Salamah teringat pelajaran yang disampaikan suaminya dari Rasulullah Saw. bahwa apabila seorang Mukmin ditimpa musibah dan mengucapkan “Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun” (sesungguhnya kami berasal dari Allah, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah), lalu diikuti membaca “Allahumma` jurnii fii mushiibatii wakhluflii khairan minha” (ya Allah, berilah pahala bagiku atas musibahku ini, dan gantilah untukku yang lebih baik daripadanya), maka ia akan diberi ganti yang lebih baik lagi oleh Allah Swt. (HR Muslim).

Ummu Salamah melaksanakan apa yang diajarkan almarhum suaminya dari Rasulullah Saw. Lalu, ia bertanya pada diri sendiri, siapakah orang yang lebih baik daripada Abu Thalhah? Kemudian setelah selesai masa ‘iddah, tiba-tiba Rasulullah Saw. meminangnya. Pada awalnya, Ummu Salamah ragu. “Ya Rasulullah, tak mungkin aku menolak pinanganmu, akan tetapi aku seorang wanita yang sangat pencemburu. Aku khawatir akan terjadi padaku sesuatu yang menyebabkan aku disiksa oleh Allah Swt. Disamping itu, aku juga sudah tua dan mempunyai anak.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kekhawatiranmu dengan sifat pencemburumu, maka Allah akan menghilangkannya. Mengenai umur, aku pun sudah tua. Mengenai anak, maka anakmu adalah anakku juga.” Akhirnya Ummu Salamah menerima pinangan Rasulullah Saw. Ummu Salamah berkata, “Sungguh Allah telah menggantikan untukku orang yang lebih baik dari Abu Thalhah, yaitu Rasulullah Saw.”

Keteguhannya dalam berjihad tetap terlihat setelah ia menjadi istri Rasulullah. Bahkan lebih giat lagi, walaupun itu tidak berarti ia mengabaikan tarbiyatul awlad (pendidikan anak-anaknya). Semua tugas yang diamanahkan Allah kepadanya baginya sama pentingnya. Saat keadaan damai, ia berkonsentrasi penuh pada tarbiyatul awlad. Namun saat jihad memanggilnya, ia pun tak segan-segan untuk berangkat meninggalkan semua yang ia cintai. Karena betapapun ia mencintai anak-anaknya sebagai qurratu a’yun (penyejuk mata), namun cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya tetap lebih diutamakan, jika jihad telah menjadi fardhu a’in bagi setiap Muslim. Itulah Muslimah utama yang mampu memprioritaskan cintanya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Wallahu a’lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2005).

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto