Takdir Kematian

4 Sep 2011

“… Katakanlah, ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh’. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati” (QS Ali Imran: 154).



Ini sebuah kisah nyata. Ketika saya masih kuliah di Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB, seorang teman, sebut saja Indra (saya sudah lupa namanya), meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Mobil yang ditumpanginya bersama rombongan keluarga temannya, sebut saja keluarga Marihot (saya juga sudah lupa namanya), bertabrakan dengan kendaraan lainnya di sebuah daerah di Sumatera Utara menuju Medan. Indra yang orang Jawa Barat menawarkan diri ikut dengan keluarga Marihot untuk berliburan tahun baru 1987.

Pada awalnya, yang diajak oleh Marihot adalah Edy, temannya yang lain. Akan tetapi, karena Edy sedang sibuk dengan aktifitas di Koperasi Mahasiswa, ia tak jadi berangkat. Indra-lah yang menggantikan Edy. Ketika kami mendengar kabar kecelakaan rombongan Marihot yang merenggut nyawa Indra (yang lainnya luka-luka, termasuk Marihot), seorang teman berkomentar kepada saya, “Coba kalau si Edy jadi ikut, dia yang meninggal.”

Lalu saya katakan kepadanya, “Seandainya si Edy jadi ikut, ceritanya akan lain. Belum tentu si Edy akan meninggal. Karena, kenyataannya saat ini dia sehat wal afiat. Justru Allah Swt. menggerakkan hati si Indra untuk ikut rombongan lantaran di sana takdir kematiannya sudah menunggu.”

Inilah salah satu hakikat kematian sebagaimana digariskan oleh Allah Swt. di dalam Al-Qur`an,

“… Katakanlah, ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh’. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati” (QS Ali Imran: 154).

Al-Qur`an menjelaskan bahwa kematian merupakan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah. Tak seorang pun mampu menghindari pertemuan dengan sang maut. Ketakutan dan kekhawatiran akan datangnya kematian, tak akan dapat menyelamatkan seseorang dari takdir Allah yang satu ini. Semua orang pasti akan mati, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. untuknya. Akan tetapi, cara kematian manusia berbeda-beda, di antara mereka ada yang menemui kematiannya di medan jihad sebagai syuhada. Tapi, tak sedikit pula yang meninggal di pangkuan wanita binal atau di atas meja judi.

Seorang pembalap F1 tidak selalu mengakhiri kehidupannya di atas mobil balapnya. Meskipun Ayrton Senna (34 tahun) meninggal akibat mobil balapnya menghantam tembok pada tikungan pertama (tikungan Tamburello dan Hill) di sirkuit Imola, Italia pada 1 Mei 1994. Seorang nelayan tidak mesti menjemput ajalnya dengan cara tenggelam, meskipun masa hidupnya banyak dihabiskan di atas laut untuk mencari ikan. Bahkan kita jarang mendengar seorang bankir menemui kematiannya ketika berada di kantornya, meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk memutar dan mengendalikan roda perbankan. Begitu juga, seorang mujahid tidak selalu wafat di medan perang, meski hampir sebagian besar hidupnya diabdikan untuk berperang di jalan Allah Swt.

Tidak ada satu rumus pun yang mampu memformulasi tentang kematian. Yang jelas, kematian adalah sesuatu yang pasti. Semua orang pasti akan mengalaminya. Allah Swt. menegaskan, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati" (QS Ali Imran: 185). Dalam ayat lain, Allah Swt. Berfirman,

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,…” (QS An-Nisa`: 78).

Kaum Muslimin generasi pertama betul-betul memahami hakikat kematian. Karenanya, mereka mencintai kematian, sehingga Allah memberikan kehidupan kepada mereka. Kenyataan tersebut tertuang dalam ucapan singkat Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. kepada Khalid bin Walid Ra., “Wahai Khalid, cintailah kematian, pasti engkau diberi kehidupan.”

Ali bin Abi Thalib Ra. berkata, “Demi Allah, sesungguhnya putra Abu Thalib (Ali) lebih mencintai kematian daripada kecintaan bayi kepada tetek ibunya.”

Apa yang diucapkan oleh Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, dibenarkan oleh Rasulullah Saw. Beliau tidak khawatir kalau umatnya jatuh pada kemiskinan yang menyebabkan kematian. Akan tetapi yang paling ditakutkan adalah apabila pintu-pintu dunia telah dibuka dan umat Islam bergelimang dengan harta benda, maka di sanalah pintu kehancuran telah menunggu. Beliau Saw. menegaskan,

“’Hampir saja umat-umat lain memperebutkan kamu, seperti jago-jago makan memperebutkan makanan di atas piring.’ Seorang sahabat bertanya, ‘Apakah lantaran saat itu kami minoritas, wahai Rasulullah?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Tidak. Bahkan saat itu kamu mayoritas. Akan tetapi kamu seperti buih yang berada di atas permukaan air. Allah akan mencabut rasa segan kepadamu dari hati musuh-musuhmu, dan Allah akan menancapkan penyakit wahn dalam hatimu.’ Seseorang bertanya, ‘Apakah penyakit wahn itu, ya Rasulullah .’ Rasulullah Saw. menjawab., ‘Cinta dunia dan benci kematian.’”

Dalam keseharian, kita sering mendengar seseorang berkomentar ketika menyaksikan tetangganya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas atau meninggal dalam perjalanan ke tempat pengajian. “Coba kalau mereka tetap di rumah.” Atau, “Ngapain sih cari tempat pengajian jauh-jauh.” Komentar seperti ini akan meruntuhkan motivasi dan mental, bahkan merusak aqidah. Mereka kurang memahami takdir Allah Swt.

Kalau semua orang perpandangan seperti itu, tidak ada orang yang mau menjadi pilot, karena takut pesawatnya jatuh. Tidak ada orang yang mau jadi nakoda, karena takut kapalnya tenggelam. Tidak ada orang yang mau menjadi masinis, lantaran khawatir keretanya bertabrakan atau keluar rel. Tidak ada orang yang mau membangun gedung bertingkat, lantaran takut jatuh dari ketinggian, dan seterusnya. Pandangan seperti ini, menurut Al-Qur`an, adalah pandangan orang-orang kafir dan munafik,

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang, ‘Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.’ Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Ali Imran: 156).

Jadi, kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan. Allah Swt. menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji manusia, siapa yang paling baik amalnya (QS Al-Mulk: 2). Hari kelahiran seorang bayi mungkin masih bisa diatur oleh manusia dengan ditemukannya teknologi bedah cesar. Akan tetapi, maut, sampai sekarang belum ada teknologi yang bisa mengaturnya. Meskipun tanda-tanda kematian seseorang bisa dilihat atau dideteksi berdasarkan kebiasaan atau kelaziman orang yang akan meninggal dunia. Akan tetapi kapan seseorang akan menemui ajalnya, hanya Allah-lah yang Maha Tahu.

Tak seorang pun yang mampu merekayasa waktu dan tempat kematiannya. Akan tetapi dalam kondisi bagaimana – iman atau kafir – seseorang itu mati, Allah Swt. memberikan pilihan kepada manusia, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS Ali Imran: 102).

Hakikat inilah yang ditangkap oleh Hasan Al-Banna sebagai seni kematian. Dalam kitabnya “Ahaditsul Jumu’ah”, beliau mengatakan, “Kematian merupakan suatu seni tersendiri. Terkadang ia menjadi suatu seni yang indah meski terasa pahit. Bahkan mungkin menjadi sebuah seni yang paling indah bila dirancang oleh seniman yang sangat mahir.” Para nabi dan rasul, para sahabat, serta para mujahid di jalan Allah adalah seniman-seniman yang andal. Kemahiran mereka bukanlah dalam mengatur datangnya kematian, akan tetapi mereka mampu merekayasa cara kematian mereka. Mereka tidak mau dijemput kematian pada saat hati lengah dari mengingat Allah. Mereka tidak mau meninggal dunia ketika sedang melakukan akfifitas yang sia-sia. Mereka tidak mau mati ketika sedang melanggar hukum dan ketentuan Allah.

Oleh karena itu, mereka mengisi hari-hari hidup mereka dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Mereka niatkan hidup dan mati mereka untuk mengabdi kepada Allah. Mereka habiskan seluruh waktu mereka untuk berjihad di jalan Allah. Mereka menjauhi maksiat dan perbuatan dosa. Dengan cara seperti ini, kematian akan datang pada saat mereka tengah sibuk dengan Rabb-nya.

Orang-orang seperti ini tak perlu umur panjang untuk mendapatkan surga Allah. Karena sejak awal mereka telah mengikatkan diri mereka dengan tali Allah Swt. Mengikatkan diri mereka dengan sebuah jama’ah dakwah dimana mereka bisa ber-amal jama’i di dalamnya untuk menuai pahala dan ridha Allah Swt.

Bagi mereka, dunia adalah urusan yang kecil. Mereka hidup bukan untuk sekedar mencari dunia. Akan tetapi mereka mencari dunia untuk kehidupan di akhirat. Simaklah firman Allah Swt.,

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” (QS Al-Baqarah: 96).

Semoga kita termasuk orang-orang yang dijemput oleh maut ketika kita tengah sibuk dan bekerja untuk Allah Swt. Wallahu a'lam bishshawab. (Syamsu Hilal, 2003)

9 comments:

  1. TheJ4ck mengatakan...:

    maaantaabb....
    semoga bermanfaat, izin copas buat nasehat dulur2

  1. Unknown mengatakan...:

    Sangat bermanfaat

  1. BlogspotRt36 mengatakan...:

    gimn yg mati di hukum tembak

  1. BlogspotRt36 mengatakan...:

    gimn yg mati di hukum tembak

  1. Unknown mengatakan...:

    Kenapa kalo sakit kita berobat? Sedangkan mati itu takdir

  1. Arien mengatakan...:

    Bila sakit berusaha. Berobat itu tetap diharuskan. Adapun sembuh itu adalah urusan Allah.

  1. Arien mengatakan...:

    Bila sakit berusaha. Berobat itu tetap diharuskan. Adapun sembuh itu adalah urusan Allah.

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto