Bekerja untuk Meraih Kemenangan

7 Feb 2013

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’-lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan 77. Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (QS Al-Hajj: 177).
Kemenangan atau kejayaan suatu umat tidak akan pernah datang begitu saja dengan tiba-tiba. Datangnya sebuah kemenangan pasti mengikuti aturan atau kaidah-kaidah yang telah dijelaskan Allah Swt. di dalam Al-Qur`an. Aturan-aturan kemenangan itu dijelaskan Allah secara gamblang agar dipelajari, diketahui, dan diperhatikan oleh orang-orang beriman.
Kata kemenangan dalam Al-Qur’an sering menggunakan kata aflaha, tuflihuun, atau muflihuun. Kata aflaha yuflihu menurut kamus bahasa Arab memiliki arti menang, jaya, berhasil maksudnya, sukses (lawan gagal). Kata muflih berarti yang menang atau yang berhasil maksudnya. (Mahmud Yunus, 1973:323).
Kata tuflihun terambil dari kata falaha yang juga digunakan dalam arti bertani. Penggunaan kata itu memberi kesan bahwa seorang yang melakukan kebaikan, hendaknya jangan segera mengharapkan tibanya hasil dalam waktu yang singkat. Ia harus merasakan dirinya sebagai petani yang harus bersusah payah membajak tanah, menanam benih, menyingkirkan hama, dan menyirami tanamannya, lalu harus menunggu hingga memetik buahnya (M. Quraish Shihab, Vol-9, 2002:130 – 131).
Al-Maraghi (Juz 17, 1993:262) menafsirkan ayat ini sebagai berikut, “Wahai orang-orang yang mempercayai Allah dan rasul-Nya, tunduklah kepada Allah dengan bersujud, beribadahlah kepada-Nya dengan segala apa yang kalian gunakan untuk menghambakan diri kepada-Nya, dan berbuatlah kebaikan yang diperintahkan kepada kalian, seperti mengadakan hubungan silaturahmi dan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia, supaya kalian beruntung memperoleh pahala dan keridaan yang kalian cita-citakan.”
Prof. Dr. Hamka (Juz 17, 1981:257) berpendapat, “Wahai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah kamu dan sembahlah Allah kamu. Maksud ketiga perintah itu adalah shalat. Karena di antara ibadah teguh hendaklah shalat. Supaya shalat bertambah khusyu’ hendaklah iman. Iman adalah ketundukan akal. Shalat adalah memperdalam perasaan. Rukuk dan sujud itu adalah melatih rasa tunduk. Menyembah Allah dengan tunduk akan segala perintah dan menghentikan apa yang dilarang. Shalat adalah ibadah yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Berbuat kebajikan ialah meneguhkan hubungan dengan sesama manusia dengan menghubungkan silaturahim dan menegakkan budi pekerti yang mulia. Supaya kamu mendapat kemenangan, kemenangan yang dicapai dengan teguh beribadat kepada Allah yang berpangkal dengan ruku’ dan sujud, tegasnya dengan shalat yang diimbangkan dengan kesukaan berbuat kebajikan, adalah kemenangan di dunia akhirat. Di dunia hati lapang, pikiran tidak tertubruk, ilham Allah datang, dan pergaulan luas. Di akhirat ialah surga yang dijanjikan Allah.”

Kaidah Kemenangan
Banyak orang memahami kemenangan sebagai lawan dari kekalahan dalam arti sempit. Padahal Allah Swt. telah menegaskan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka itulah kemenangan hakiki. Oleh karena itu, syahidnya para pejuang Islam dalam medan pertempuran bukanlah sebuah kekalahan, justru sebaliknya hal itu adalah salah satu bentuk kemenangan. Ada tiga kaidah kemenangan yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.
Kaidah pertama, sesungguhnya kemenangan itu hanya dari Allah Swt. Oleh karena itu, siapa yang mendapatkan pertolongan dari Allah Swt., ia tidak akan pernah terkalahkan, meskipun para musuh bersatu dalam satu barisan untuk menyerang dirinya. Sebaliknya, barangsiapa dibiarkan oleh Allah dan tidak mendapat pertolongannya, maka ia tak akan pernah sedikit pun meraih kemenangan, meskipun ia memiliki kekuatan besar dan tangguh.
Kaidah-kaidah kemenangan tersebut dijelaskan Allah Swt. secara gamblang dalam firman-Nya,
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu'min bertawakkal” (QS Ali Imran: 60).
Pada tahap tertentu, Allah Swt. sering pula memberikan pertolongan-Nya kepada sekelompok kaum yang sedikit hingga mereka dapat mengalahkan kelompok yang lebih besar jumlah dan kekuatannya. Hal ini terjadi, seperti ketika Allah Swt. menolong para pengikut Thalut saat menghadapi balatentara Jalut yang jumlahnya lebih besar.
Saat itu, para pengikut Thalut sempat ragu tatkala melihat besarnya kekuatan dan jumlah pasukan Jalut. Bahkan mereka telah berkata,
"’Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.’ Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar’” (QS Al-Baqarah: 249).
Allah Swt. juga pernah menurunkan pertolongan-Nya kepada seseorang yang tidak memiliki tentara dan senjata sedikit pun, sehingga ia dapat mengalahkan para musuhnya. Orang yang mengalahkan hal itu tak lain adalah Rasulullah Saw. sendiri, yaitu pada saat beliau berada di dalam sebuah gua bersama salah seorang sahabatanya. Peristiwa ini dikisahkan Al-Qur`an,
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (At-Taubah: 40).
Kaidah kedua, sesungguhnya Allah Swt. tidak akan menolong seseorang kecuali dirinya selalu menolong agama Allah. Artinya, siapa yang menolong agama Allah, maka Allah pun akan memberikan pertolongan kepadanya. Kaidah ini disebutkan Allah Swt. di dalam Al-Qur`an,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad: 7).
Ayat di atas kemudian dipertegas lagi oleh Allah Swt. dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS Al-Hajj: 40).
Berdasarkan kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pertolongan Allah akan diberikan kepada siapa saja yang selalu menolong agama Allah, meninggikan kalimat-Nya, dan melaksanakan syariat-Nya dalam kehidupan.
Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan penjelasan Allah Swt. tentang keadaan orang-orang yang selalu menolong agama Allah.
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan” (QS Al-Hajj: 41).
Pada ayat lain, dijelaskan juga bahwa pertolongan Allah hanya akan diterima orang-orang yang beriman atau orang-orang yang selalu berjuang di jalan-Nya. Hal ini menandakan bahwa iman adalah syarat mutlak untuk mendapatkan pertolongan Allah. Maka dari itu, barangsiapa beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya, orang tersebut pada hakikatnya telah menolong agama Allah dan menjadi bagian dari balatentara-Nya. Bekaitan dengan penjelasan ini, Allah Swt. berfirman, “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman” (QS Ar-Rum: 47).
Kaidah ketiga, sesungguhnya kemenangan atau pertolongan Allah akan diperoleh umat dikarenakan keberadaan orang-orang beriman di tengah-tengah mereka. Jika demikian halnya, maka pertolongan Allah hanya diperuntukkan bagi mereka yang beriman dan hanya diperoleh dengan keberadaan mereka. Berkenaan dengan kaidah ini, Allah Swt. berfirman,
“Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min” (QS Al-Anfal: 62).
Kadangkala Allah Swt. menurunkan pertologan-Nya kepada seorang hamba atau kaum melalui perantaraan berbagai kekuatan alam yang telah Allah perintahkan untuk membantu hamba atau kaum tersebut, atau Allah sendiri langsung menghancurkan para musuh-Nya. Hal ini terjadi sebagaimana telah diceritakan Allah dalam firman-Nya,
“Lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya” (QS Al-Ahzab: 9).
Kemudian, kita dapat saksikan juga pada saat Allah Swt. menurunkan hujan sebagai rahmat bagi kaum mukmin pada saat terjadi perang Badar. Peristiwa tersebut diceritakan Allah,
“(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki (mu)” (QS Al-Anfal: 11).
Pada saat yang lain, Allah juga pernah memberikan pertolongan kepada suatu kaum melalui perantaraan tangan-tangan musuh. Pertolongan seperti ini dilakukan Allah dengan meniupkan rasa takut ke dalam hati musuh orang-orang beriman. Karena rasa takut itulah, nyali dan keberanian mereka untuk melawan kaum yang beriman semakin surut. Peristiwa ini pernah terjadi dan dialami oleh Bani Nadhir sebagaimana dikisahkan Allah Swt. di dalam Al-Qur`an,
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (QS Al-Hasyr: 2).
Sarana atau perantara datangnya pertolongan Allah atau sebuah kemenangan sangatlah banyak. Akan tetapi semua itu tidak lepas dari keberadaan orang-orang beriman. Artinya, orang-orang beriman dalam hal ini adalah tetap sebagai perantara atau penyebab utama turunnya kemenangan dan pertolongan Allah.
Para malaikat yang diperbantukan Allah pada perang Badar misalnya, tidak akan pernah diturunkan begitu saja. Allah Swt. berfirman,
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman” (QS Al-Anfal: 12).
Kemudian, pada saat terjadi perang Ahzab, Allah Swt. mengirimkan angin dan balatentara dari langit adalah ketika orang-orang beriman diuji dan diguncangkan hatinya dengan guncangan yang amat keras. Sementara itu, pada perang Hunain, Allah Swt. menurunkan ketenangan kepada Rasulullah Saw. dan kepada orang-orang beriman. Pada perang dengan Bani Nadhir, Bani Nadhir memusnahkan sendiri rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang beriman.
Dalam jihad siyasi (perjuangan politik) yang saat ini tengah dilakukan umat Islam, setiap orang beriman dituntut untuk membuktikan keimanannya, yaitu berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan Islam melalui partai politik yang benar-benar memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Mari kita buktikan keberpihakan kita kepada Allah dengan cara menolong agama Allah atau menolong orang-orang yang memperjuangkan agama Allah melalui jalur politik.

Jalan Meraih Kemenangan
Di dalam AL-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 77, Allah Swt. Berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, ruku’-lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabb-mu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” (QS Al-Hajj: 77).
Ayat ini merupakan ayat kedua terakhir dari surah yang unik dan istimewa, surah Al-Hajj. Dikatakan surah yang unik karena sebagian ulama tafsir menggolongkan surah ini ke dalam kategori surah  Makkiyah, namun sebagian yang lain justru sebaliknya menggolongkannya ke dalam kategori surah Madaniyah. Surah ini juga unik karena di dalamnya ada dua ayat sajdah, yaitu ayat ke-18 dan ayat ke-77 ini seperti yang di pahami dari sebuah riwayat dari Uqbah bin Amir,
”Keutamaan surah al-Hajj karena terdapat dua ayat sajdah padanya. Barangsiapa yang tidak bersujud pada keduanya, janganlah ia membaca surah ini” (HR At-Tarmidzi dan Abu Dawud).
Ayat ini menggambarkan secara ringkas manhaj Allah Swt. untuk manusia dan beban taklif  bagi mereka agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan. Ia di awali dengan perintah untuk ruku’ dan sujud yang merupakan gambaran gerakan  shalat yang tampak dan jelas, dilanjutkan dengan perintah untuk beribadah secara umum yang meliputi segala gerakan, amal dan pikiran yang di tujukan hanya kepada Allah Swt. sehingga segala aktivitas manusia bisa beralih menjadi ibadah bila hati ditujukan hanya kepada Allah Swt. bahkan Kenikmatan-kenikmatan dari kelezatan hidup dunia yang dirasakannya dapat bernilai ibadah yang di tulis sebagai  pahala amal baik .
Ayat ini di tutup dengan perintah berbuat baik secara umum dalam hubungan horizontal dengan manusia setelah perintah untuk membangun hubungan vertikal dengan Allah Swt., dalam shalat dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu, perintah ibadah dimaksudkan  agar umat Islam selalu terhubung dengan Allah Swt. sehingga kehidupan berdiri di atas fondasi yang kukuh dan jalur yang dapat membawa kepada-Nya. Sedangkan perintah untuk melakukan kebaikan, dapat membangkitkan kehidupan yang istiqamah dan kehidupan masyarakat yang penuh dengan suasana kasih sayang.
Perintah ini dipertegas kembali di akhir surah Al-Hajj, bahwa umat Islam akan mampu mempertahankan eksistensinya  sebagai umat pilihan dan sebagai  saksi atas umat yang lain manakala mampu membina  hubungan baik dengan Allah Swt. dan membina hubungan baik sesama manusia,
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong” (QS Al-Hajj: 78).
Pada ayat di atas, Allah Swt. memberi perintah kepada orang beriman agar mampu membangun kesalehan personal (hablum minallah) dan kesalehan sosial  (hablum minannas) secara bersamaan agar senantiasa memperoleh kemenangan. Ruku’ dan sujud merupakan cermin tertinggi dari pengabdian seseorang kepada Allah Swt., sedang ”berbuatlah kebaikan” merupakan indikasi kesalehan sosial.
Secara redaksional  dalam urutan perintah ayat di atas, ternyata Allah Swt. mendahulukan kesalehan personal dari kesalehan sosial. Ini berarti bahwa untuk membangun kesalehan sosial, harus dimulai dengan kesalehan personal. Atau kesalehan personal akan memberikan kekuatan untuk saleh juga secara sosial. Bahkan seluruh perintah beribadah kepada Allah Swt. dimaksudkan agar lahir darinya kesalehan sosial, seperti shalat misalnya, bagaimana ia bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar,
“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)  keji dan munkar” (QS Al-Ankabut: 45).
Kisah yang diabadikan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya bagaimana seorang wanita yang saleh secara personal yang diwujudkan dengan ibadah shalat, puasa dan ibadah mahdhah lainnya namun ternyata Rasulullah Saw. menyatakan bahwa ia dalam neraka. Karena ternyata kesalehan itu tidak membawanya menuju kesalehan sosial, bahkan ia cenderung tidak mampu menjaga lisannya dari tidak melukai hati orang lain.
Dalam tataran tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, terdapat beberapa hubungan dan korelasi (munasabah) yang sangat erat antara kesalehan personal dan sosial dengan nilai-nilai mulia dari ajaran Islam. Untuk menggapai predikat ihsan misalnya, seseorang dituntut untuk mampu sholeh secara individu dan sosial yang diwakili dengan shalat malam dan berinfak,
“Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS Adz-Dzariyat: 16-19).
Ibnu Asyur mengomentari ayat ini dengan menjelaskan bahwa dua bentuk amal inilah yang sangat berat untuk dilakukan karena: pertama, bangun malam merupakan sesuatu yang sangat berat karena mengganggu istirahat seseorang. Padahal amal itu merupakan amal yang paling utama untuk membangun kesalehan personal seseorang. Kedua, amal yang melibatkan harta terkadang sangat sukar untuk dipenuhi karena manusia pada dasarnya memiliki sifat kikir dengan sangat mencintai hartanya. Di sinilah Allah Swt. menguji kesalehan sosial seseorang dengan memintanya untuk mengeluarkan sebagian harta untuk mereka yang membutuhkan.
Nilai lain yang terkait dengan dua kesalehan ini, adalah sebab utama yang paling banyak menjerumuskan seseorang ke dalam neraka karena tidak mampu membentengi diri dengan dua kesalehan tersebut, seperti pernyataan jujur penghuni neraka yang diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya,
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab, ’Kami dahulu tidak termasuk  orang-orang yang mengerjakan shalat dan kami tidak pula memberi makan orang miskin dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya” (QS Al-Mudatsir: 42-45).
Resep agar tidak bersifat keluh kesah lagi kikir juga sangat terkait dengan kemampuan seseorang membangun dalam dirinya dua kesalehan tersebut secara simultan. Allah Swt. memberi jaminan,
“Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak memiliki apa-apa (yang tidak mau meminta)” (QS Al-Ma’arij: 22-25).
Berapa banyak dari umat ini yang hanya mementingkan saleh secara sosial tapi lupa akan hubungan baik dengan Allah Swt. Sebaliknya, banyak juga yang saleh secara personal namun ketika berhadapan dengan sosial, ia larut dan tidak mampu membangun kesalehan di tengah-tengah  mereka. Sungguh umat ini sangat membutuhkan kehadiran komunitas yang saleh secara personal, dalam arti mampu menjaga hubungan baik dengan Allah SWT. Saleh secara sosial dalam arti mampu memelihara hubungan baik dan memberi kebaikan dan manfaat yang besar bagi kemanusiaan. (Wallahu a’lam bishsawab).

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto