Hukum Tolak Menolak (Sunnah at-Tadafu')

9 Feb 2013


“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam” (QS Al-Baqarah: 251).

Sebagai umat Islam, kita telah diajari oleh Al-Qur`an al-Karim satu dari sekian banyak undang-undang Allah Swt. di bumi yang diistilahkan oleh Al-Qur`an dengan sunnatullah. Undang-undang atau sunnatullah itu adalah Sunnatu at-Tadafu’ (Hukum Tolak Menolak), yaitu Allah Swt. menolak atau mencegah sebagian makhluknya dengan sebagian yang lain, supaya kebaikan tersebar di bumi ini dan kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Kita sering menyaksikan ketika ada tanaman diserang oleh ulat yang memakan dedaunan, maka Allah Swt. mendatangkan burung-burung kecil yang memakan ulat-ulat tersebut, sehingga tanaman yang daunnya dirusak ulat kembali tumbuh dengan baik. Ketika hama kutu loncat menyerang tanaman-tanaman di Indonesia dan merugikan para petani, maka Allah Swt. mengirimkan sejenis kepik yang memangsa kutu loncat tersebut. Para petani pun dapat “bernapas” kembali. Bila Sunnatu at-Tadafu’ ini terjadi di dunia flora dan fauna, maka begitu juga di dunia manusia.
Ketika muncul seorang penguasa zalim yang menindas rakyatnya dan membuat berbagai kerusakan di muka bumi, maka Allah Swt. mengirimkan kepadanya orang yang mengingatkannya dan menghentikan perbuatan zalimnya itu. Bisa jadi orang yang diutus Allah untuk menghentikan perbuatan si zalim itu adalah seorang yang adil, atau bisa juga orang yang zalim juga seperti penguasa itu. Sebagaimana dikatakan, “Orang zalim adalah pedang Allah di bumi, dengannya Allah murka, lalu terhadapnya Allah marah.”
Kemurkaan Allah bisa disebabkan lantaran rakyat di suatu negeri menjauhi hukum-hukum Allah dan mengingkari nikmat-nikmat-Nya. Sehingga, Allah Swt. menghukum penduduk negeri tersebut dengan hadirnya seorang penguasa zalim dan kejam. Mungkin inilah yang tengah terjadi di negara kita. Na’uzhubillahi min dzalik. Tapi, kita patut berintrospeksi.
Ketika bangsa Indonesia memperoleh anugerah kemerdekaan pada tahun 1945, mereka tidak atau kurang mensyukuri anugerah Allah itu. Bangsa Indonesia tidak buru-buru mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan iman dan taqwa dan mempebaiki sendi-sendi kehidupan yang telah dirusak para penjajah. Bahkan sebaliknya, penguasa yang berkuasa pada waktu itu menyingkirkan Al-Qur`an dari tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mereka lebih suka menggunakan hukum Barat penginggalan penjajah Belanda, ketimbang hukum Allah Swt. Penguasa tirani Orde Lama dijatuhkan oleh penguasa Orde Baru yang kurang lebih sama sifat dan perangainya. Penguasa Orde Baru diturunkan oleh penguasa Orde Reformasi yang hingga saat ini memiliki sikap yang sama, bahkan dalam beberapa hal mungkin lebih buruk lagi.
Kapan Allah Swt. mengirim pemimpin dan penguasa yang adil? Jawabnya, ketika bangsa Indonesia, khususnya umat Islam mau kembali dan taat kepada hukum dan ketentuan Allah Swt. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-A’raf: 96).
Limpahan berkah dari langit dan bumi akan dibukakan oleh Allah Swt. sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa dalam arti sesungguhnya. Dan salah satu berkah itu adalah diturunkannya pemimpin yang adil dan menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat yang beriman dan bertaqwa pasti akan memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa. Sebaliknya, rakyat yang lemah iman dan cenderung kepada kemusyrikan tentu akan memilih pemimpin yang sikap dan perilakunya sama dengan mereka.
Kembali kepada Sunnatu at-Tadafu’. Allah Swt. mengutus Nabi Ibrahim As. kepada Namrud yang tiranis, mengirim Nabi Musa As. kepada Fir’aun yang sombong lagi menindas, menyuruh Thalut untuk melawan Jalut yang kejam, dan menghadirkan Nabi Muhammad Saw. di tengah-tengah masyarakat Quraisy yang musyrik dan suka membunuh.
Jadi Sunnatu at-Tadafu’ merupakan sesuatu yang mesti ada dalam kehidupan dunia ini untuk mencegah kerusakan di bumi, sehingga sebagian manusia tidak melanggar hak asasi sebagian yang lain, dan si kuat tidak memangsa si lemah. Jika Sunnatu at-Tadafu’ ini tidak ada, maka dunia akan dikuasai oleh hukum rimba, di mana si kuat memakan si lemah, orang besar berbuat semena-mena terhadap orang kecil, sebagaimana hal itu terjadi di dunia ikan.
Manusia jika dibiarkan mengiuti hawa nafsunya, pasti ia akan berbuat zalim dan melakukan kebodohan,
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS Al-Ahzab: 72).
Siapakah yang mencegah si kuat yang zalim memusuhi si lemah yang tidak berdaya? Allah Swt. dengan ketetapan-Nya mengirim orang yang akan membela si lemah atas hak-haknya. Allah Swt. senantiasa mengirim manusia untuk memperbaiki tatanan kehidupan yang telah dirusak oleh para mufsidun (kaum perusak).
Ketika Barat yang diwakili Amerika Serikat berbuat zalim, sombong, dan membuat kerusakan di bumi, maka mengapa kekuatan Islam dan yang lainnya tidak bersatu untuk menghadapi AS dan sekutunya? Mereka yang lemah jika bersatu akan menjadi kuat. Apalagi jika yang lemah itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Barat, seperti kekuatan jumlah penduduk dan kekuatan mental. Bila umat Islam tidak mengekor kepada kemauan AS yang cenderung destruktif, maka di sana ada kebaikan. AS dan para kroninya akan berpikir seribu kali untuk berbuat zalim dan berlaku sombong kepada bangsa lain.
Al-Qur`an al-Karim menerangkan Sunnatu at-Tadafu’ di dua tempat. Pertama, kisah Thalut yang diutus Allah untuk menghentikan kebiadaban Jalut. Allah Swt. menakdirkan Thalut dan tentaranya berjumpa dengan Jalut, sang penguasa zalim beserta pasukannya yang jumlahnya lebih besar dan persenjataannya lebih lengkap, sehingga timbul rasa takut pada tentara Thalut, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya” (QS Al-Baqarah: 249).
Namun, sebagian tentara Thalut yang kokoh imannya dan yakin terhadap pertolongan Allah Swt., tak gentar menghadapi besar dan kuatnya tentara Jalut.
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa, ‘Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir’. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam’.” (QS Al-Baqarah: 249-251).
Al-Qur`an menjelaskan bahwa Allah Swt. telah menolak kesewenang-wenangan dan kezaliman Jalut dengan mengutus Thalut beserta tentaranya, dan Allah menyiapkan seorang pemuda untuk membunuh Jalut dalam pertempuran itu, yaitu Daud yang kemudian memperoleh kemuliaan sebagai nabiyullah.
Kedua, Allah Swt. mengizinkan umat Islam untuk berperang demi membela diri dan aqidahnya, setelah 13 tahun lamanya mereka hidup dalam penindasan dan penyiksaan, bahkan di antara mereka ada yang mati lantaran kelaparan. Penyebab semua itu adalah sikap represif dan tiraniya kaum musyrikin yang berkuasa pada waktu itu. Namun, sepanjang periode Mekkah, umat Islam diperintahkan untuk bersabar dan disuruh hijrah ke Madinah untuk menghindari penindasan.
Ketika umat Islam telah cukup kuat, maka Allah Swt. mengizinkan mereka untuk mencegah kezaliman kaum musyrikin dalam rangka melindungi kebenaran dan menolak fitnah dalam agama, sehingga agama hanya menjadi milik Allah saja. Izin ini kita dapati dalam dua rangkaian ayat dalam QS Al-Hajj:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, ‘Tuhan kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS Al-Hajj: 39-40).
Dengan adanya pencegahan makhluk dengan makhluk lain, maka tempat ibadah terpelihara, dan kebebasan beragama dapat terlindungi. Jika tidak, para penguasa tirani akan terus berbuat zalim, dan mereka yang suka berbuat kerusakan akan terus membuat kerusakan hingga menghancurkan kehidupan ini.
Al-Qur`an al-Karim juga menjelaskan kepada kita bagaimana Allah Swt. menyiapkan kekuatan penangkal keburukan, yaitu dengan sekelompok orang yang senantiasa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran: 104).
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Maidah: 54). Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto