Benturan Peradaban, Haruskah Terjadi?

26 Feb 2013

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” (QS Huud: 118-119).

Kita perlu bertanya pada Samuel Huntington berkaitan dengan pandangannya tentang benturan peradaban, apakah benturan itu suatu keharusan atau hanya kemungkinan saja? Pertanyaan ini amat penting mengingat Barat yang dimotori Amerika Serikat seolah-olah menganggap benar hipotesa Huntington ini. Kalau kita renungkan, hipotesis Huntington amat membahayakan perjalanan kehidupan manusia, lantaran ia menghadap-hadapkan dua atau lebih peradaban manusia pada posisi yang seolah-olah siap bertarung. Seperti dikatakan Huntington, setelah hancurnya Uni Sovyet, maka musuh Barat yang paling utama adalah Islam, setelah itu Cina.
Mengomentari hipotesa Huntington, DR Al-Jabiriy berkata, “Andai Huntington benar-benar memikirkan berbagai persoalan untuk ia pahami dan mencari solusi untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya dengan tetap memandang bahwa benturan peradaban mengancam keamanan dunia, maka ia akan sampai pada kesimpulan bahwa semua pihak dan semua negara diimbau untuk mewaspadai bahaya ini dan diminta untuk membuat rencana antisipasinya. Akan tetapi, ternyata Huntington justru melakukan hal sebaliknya. Sejak awal ia mengusung hipotesisnya sebagai kebenaran sejarah di masa lalu dan yang akan datang. Begitulah ia ingin mengembalikan bangunan “sejarah seluruhnya” dengan potret yang menjadikan “benturan peradaban” yang dulu dan yang akan datang adalah sama. Ia tampilkan contoh-contoh yang diambilnya dan mencoba menginterpretasikannya dengan interpretasi yang jauh dari lingkungan sejarah itu sendiri.”
Komentar Al-Jabiriy merupakan sikap keprihatinannya atas sikap Huntington yang lebih mendorong munculnya sikap curiga dan saling benci di antara anak manusia. Pada sisi ini, Al-Jabiriy jelas memiliki pandangan lebih dewasa dan selangkah lebih maju ketimbang Huntington.
Lalu, bagaimana Islam menanggapi hipotesa Huntington?  Masalah ini sama dengan masalah yang menjadi pembahasan para ahli fiqih Islam, yaitu apakah sikap genuine kaum Muslimin dengan non-muslim itu berperang atau berdamai? Ada yang mengatakan sikap genuine adalah berperang terhadap mereka, dan ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu berdamai, sedang perang adalah bukan sikap genuine. Allah Swt. berfirman,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah: 216).
Sementara nash-nash dan ayat-ayat Al-Qur`an sangat jelas mengutamakan damai atas perang sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur`an yang mulia.
“…Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka” (QS An-Nisa: 90).
Jadi peperangan baru diperintahkan jika ada sebab-sebab yang mewajibkan, dan itu tidak harus selalu terjadi. Begitu pula halnya dengan benturan peradaban. Ia tidak mesti ada dan terjadi. Apalagi jika peradaban yang beragam tersebut bisa berdialog, hidup berdampingan, bahkan saling memberi. Benturan itu terjadi manakala ada satu peradaban yang memaksakan kehendaknya agar diterima oleh yang lain, sementara yang dipaksa menolak dan tidak mau terima. Oleh karena itu, sebagian pemikir besar seperti pemikir Prancis, Roger Garaudy menyerukan adanya dialog antarperadaban.
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa perbedaan antarperadaban manusia adalah sesuatu yang nyata dan merupakan kehendak Allah Swt. yang mengandung hikmah, baik perbedaan bahasa, ras, maupun agama.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS Ar-Ruum: 22).
Dalam ayat lain, Allah Swt. juga menegaskan, “Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun dan tidak pula seorang penolong” (QS Aasy-Syura: 8).
Bahkan Al-Qur`an al-Karim menjelaskan bahwa Allah Swt. menciptakan manusia agar mereka berjenis-jenis dan berlainan satu sama dengan yang lain. Artinya, keragaman adalah sebuah konsekuensi atas penciptaan manusia. Simaklah ayat berikut,
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” (QS Huud: 118-119).
Banyak para ulama tafsir mengatakan, bahwa kata-kata “Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka”, maksudnya adalah untuk “berselisih” mereka diciptakan oleh Allah. Diberinya mereka akal dan kemauan dan selama setiap orang berpikir dengan akalnya dan berkehendak, maka perbedaan-perbedaan pandangan dan keinginan akan senantiasa ada, dan tentunya masing-masing bertanggung jawab atas pandangan dan keinginannya itu.
Perbedaan seperti yang Allah Swt. berikan kepada manusia juga diberikan kepada makhluk-Nya yang lain, sehingga ada kesesuaian antara manusia dengan makhluk yang lain. Allah Swt. berfirman,
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Fathir: 27-28).
Atas dasar ini, maka setiap kita memegang teguh apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang haq dan baik dengan tetap membuka dialog dengan yang lain untuk mendapatkan titik temu, sehingga dapat saling memahami.
Sebagai umat Islam, kita mesti menyambut baik upaya dialog antarperadaban karena hal ini memang diperintahkan oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An-Nahl: 125).
Dengan ayat ini, umat Islam diperintahkan untuk menyeru manusia ke jalan Rabbnya dengan cara bijaksana dan nasehat yang baik. Para ulama berpendapat, cara ini digunakan untuk menyeru sesama Muslim. Sedangkan bagi mereka yang berbeda agama, menurut pemahaman para ulama, kita disuruh berdialog dan berdebat dengan cara yang lebih dan paling baik.
Jika kita meyakini bahwa kita berada di jalan yang benar dan selain kita di jalan bathil, dan ini merupakan sikap setiap orang yang punya keyakinan dalam agama apa pun, maka kita tidak ditugasi untuk membuat perhitungan dengan mereka yang menurut kita sesat itu. Kita hanya diperintahkan untuk mendakwahkan dan mengingatkannya. Sedangkan, perhitungannya hanya dengan Allah kelak di akhirat. Allah Swt. berfirman,
“Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah: "Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya” (QS Al-Hajj: 68-69).
Dalam ayat lain, Allah Swt. menegaskan,
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)” (QS Asy-Syura: 15).
Ini merupakan anjuran untuk ber-tasamuh (bertoleransi) di antara sesama manusia, sekalipun kita menyakini bahwa yang berbeda dengan kita berada dalam kesesatan yang nyata. Dialog yang bertujuan mendekatkan dan saling memahami di antara sesama manusia tidak menggugurkan kewajiban kita untuk menyeru manusia kepada Islam dengan cara-cara yang bijaksana. Allah Swt. berfirman,
“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’” (QS Ali Imran: 64).
Bila kacamata Islam yang kita gunakan untuk menilai keragaman peradaban dan budaya, niscaya benturan peradaban yang diusung Huntington tak lain hanyalah sebuah sindrom belaka. Wallahu a’lam bishshawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto