Urgensi Berpikir

9 Feb 2013



“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran: 191).

Mengomentari ayat ini, Rasulullah Saw. Bersabda, “Shalatlah kalian dalam keadaan berdiri. Bila tidak mampu, maka shalatlah dalam keadaan duduk. Dan bila tidak mampu juga, maka shalatlah dalam keadaan berbaring” (HR Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadits di atas menjelaskan kepada kita tentang urgensi dzikir (selalu ingat) kepada Allah Swt. dalam keadaan apa pun. Karena manusia dalam kesehariannya selalu berada pada tiga kondisi, yaitu berdiri, duduk, atau berbaring. Rasulullah Saw. memaknai kata dzikir pada ayat di atas dengan shalat, karena shalat pada hakikatnya adalah aktifitas dzikir kepada Allah Swt.
Akan tetapi, aktifitas dzikir saja tidak cukup untuk mengarungi kehidupan manusia di alam dunia, karena dzikir hanya bertujuan agar hati manusia selalu terikat kepada Allah Swt. Sementara “misteri” alam dunia harus dipecahkan dengan sebuah aktifitas lain, yaitu berpikir. Maka Allah Swt. menyandingkan kata dzikir dengan pikir pada perintahnya sebagaimana tertera dalam ayat di atas. Dengan demikian, urgensi berpikir sama pentingnya dengan dzikir, meskipun dalam aulawiyat-nya (perioritasnya), dzikir harus lebih didahulukan.
Oleh karena itu, Hasan al-Basri berkata, “Berpikir dan ingat (dzikir) kepada Allah selama satu jam lebih baik daripada berdiri shalat selama satu malam.” Karena, tambahnya, “Berpikir untuk merenung ibarat cermin yang menampakkan segala kebaikan dan keburukanmu.”
Luqmanul Hakim berkata, “Duduk menyendiri dan berpikir akan melahirkan renungan, dan renungan adalah ketukan pintu surga.”
Wahab bin Munabbih berkata, “Tidaklah seseorang berpikir dan merenung melainkan ia akan mengerti. Dan tidaklah seseorang mengerti melainkan ia mengetahui. Dan tidaklah seseorang mengetahui melainkan ia akan mengamalkan.”
Bisyir bin Harits al-Hafi berkata, “Jika manusia mau berpikir dan merenungkan kebesaran Allah Swt., niscaya mereka tidak akan berani berbuat maksiat kepada-Nya.”
Demikianlah pernyataan para salafush shalih tentang pentingnya berpikir dan merenung setelah dzikir. Berpikir yang telah dibalut oleh dzikir akan selalu mengarahkan seseorang kepada petunjuk Allah Swt.
Ingatlah kisah Nabi Ibrahim As. ketika mencari hakikat ketuhanan yang diabadikan oleh Allah Swt. dalam QS Al-An’am: 76-79. Dalam ayat tersebut, Nabi Ibrahim As. mengoptimalkan potensi berpikirnya untuk menolak konsep ketuhanan bintang, bulan, dan matahari yang nisbi, seraya meneguhkan keyakinannya untuk menerima konsep ketuhanan yang kekal abadi dengan cara menghadapkan dirinya kepada Rabb Pencipta alam semesta dengan penuh ketundukan. Paduan dzikir dan pikir inilah yang membuat Nabi Ibrahim As. tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah Swt.

Paham Dulu, Baru Amal
Imam Al-Ghazali dan para sufi besar lainnya berpendapat bahwa permulaan beragama dan berakhlak dengan akhlak para nabi dan orang-orang shalih tidak akan tercapai kecuali diramu dengan tiga hal yang tersusun secara berurutan, yaitu ilmu, perilaku, dan amal. Ilmu akan mewariskan perilaku, dan perilaku akan mendorong amal.
Ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh para ahli psikologi tentang persepsi, emosi, dan kecenderungan. Ketiga aspek ini saling berkaitan. Dengan kata lain, manusia mengenal dan berpersepsi, kemudian terpengaruh dan terkesa, baik suka ataupun tidak suka, kemudian berkecenderungan dan berkeinginan, baik positif ataupun negatif.
Urutan tersebut sangat jelas di dalam Al-Qur`an,
“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus” (QS Al-Hajj: 54).
Huruf ‘athaf dalam ayat tersebut adalah “fa” yang mengandung arti tertib dan berurutan. Artinya, setelah ilmu adalah iman, dan setelah iman adalah tunduk. Oleh karena itu, manusia apabila berilmu pasti beriman. Dan apabila mereka beriman, pasti mereka akan tunduk kepada Allah Swt. Tentu saja yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada hidayah Allah Swt.
Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman,
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu” (QS Muhammad: 19).
Dalam ayat ini, perintah untuk mencari ilmu (fa’lam) didahulukan daripada perintah untuk beramal, yaitu memohon ampun.
Oleh karena itu, para ahli psikologi mengatakan bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia selalu didahului oleh aktifitas berpikir internal (nasyath fikri ma’rifi dakhili), dan bahwa akal manusia tak pernah sejenak pun berhenti dari aktifitas berpikir, baik disadari atau tidak. Dengan demikian, aktifitas berpikir manusialah – disadari atau tidak – yang mengarahkan perilaku dan tindakan-tindakannya.
Dalam kitab “Miftah Daar as-Sa’adah”, Ibnul Qayyim berkata, “Berpikir adalah kunci seluruh kebaikan. Ia adalah aktifitas hati yang paling utama dan paling bermanfaat. Lalu dalam kitab “Al-Fawa`id”, beliau menjelaskan secara gamblang tentang pengaruh aktifitas berpikir dalam setiap tindakan. Katanya, “Lawalanlah lintasan buruk yang muncul dalam benakmu! Karena jika dibiarkan ia akan menjadi fikrah (pemikiran/gagasan) buruk. Lawanlah fikrah buruk itu! Karena jika tidak, ia akan menjadi niat atau keinginan (iradah) buruk. Niat buruk bila tidak dilawan akan menjadi ‘azam (tekad) buruk. Bila tekad buruk tidak dilawan, maka ia akan menjadi perbuatan atau amal buruk. Apabila perbuatan buruk itu tidak dilawan, maka ia akan menjadi kebiasaan buruk. Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sulit untuk ditanggalkan.
Oleh karena itu, dalam keseharian kita seringkali menemukan seseorang yang sudah terbiasa merokok sulit untuk berhenti merokok. Orang yang sudah terbiasa memfitnah, sulit untuk menghentikan fitnahnya. Orang yang sudah terbiasa mencuri, sulit meninggalkan perbuatan mencurinya. Dan orang yang sudah terbiasa hidup dalam tradisi bid’ah dan khurafat, sulit untuk melepaskan bid’ah dan khurafatnya.
Bahkan dalam kondisi ketidakberdayaan melawan kebiasaan buruknya, seseorang lalu menyalahkan norma-norma kebenaran yang disampaikan kepadanya. Misalkan dengan mengatakan hukum waris sudah ketinggalan zaman, karena di abad modern sekarang ini, pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang sama. Larangan berpacaran adalah mengada-ada, lantaran masyarakat di zaman sekarang sudah terbiasa dengan budaya pacaran. Atau dengan mengatakan bahwa mengenakan jilbab untuk menutup aurat, bukanlah suatu kewajiban. Karena jilbab adalah budaya masyarakat Arab. Demikian seterusnya, manusia mencari-cari alasan agar kebiasaan buruknya dapat dimaklumi dan diterima oleh masyarakat.
Demikian pula sebaliknya, seseorang yang sudah terbiasa dengan amal kebaikan, maka ia akan sulit untuk meninggalkannya. Seorang Muslim yang sudah terbiasa dengan shalat lima waktu, pasti ia tak akan berani meninggalkannya, meskipun hanya satu waktu saja. Karena proses dzikir dan pikir tentang shalat telah memahamkan dan meyakinkannya bahwa shalat lima waktu adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, dalam kondisi apa pun. Bahkan ada Muslim yang sudah sampai pada tingkatan syu’ur (perasaan) bahwa shalat lima adalah suatu kebutuhan, sehingga ia tak dapat hidup tanpa melaksanakan shalat.
Dua kondisi di atas, kebiasaan buruk dan kebiasaan baik, selalu dimulai dari aktifitas berpikir dan berpersepsi. Rasulullah Saw., sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Abbas, hampir setiap menjelang fajar keluar rumah lalu menatap ke langit sambil membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran untuk mengingat dan memikirkan kebesaran Allah Swt. Setelah itu, Beliau Saw. berdoa, “Ya Allah berilah cahaya pada hatiku. Berilah cahaya pada pendengaranku. Berilah cahaya pada penglihatanku. Berilah cahaya di sisi kanan dan kiriku. Berilah cahaya di depan dan belakangku. Berilah cahaya di atas dan di bawahku. Dan  besarkanlah cahaya bagiku di hari kiamat.”
Amat banyak tanda-tanda ke-Mahakuasaan Allah yang harus kita pikirkan dan renungkan. Sebagian tanda-tanda itu ada pada diri kita sendiri. Maha Benar Allah dengan firman-Nya,
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?

0 comments:

Posting Komentar

 
Syamsu Hilal © 2011 | Dikunceni Kang Zack, Kunjungi Juga Suswono, Kementan dan Atang Trisnanto